Jumat, 07 Juni 2013


“Allah ya nabi, salam alaika…” Shalawatan terdengar dari rumah Pak H. Asep. Setiap sebulan sekali, Pak H. Asep kerap mengadakan pengajian yasinan. Dan kebetulan, pada saat Pak H. Asep mengadakan acara itu, aku ikut serta.
Sebelum nya, aku shalat isya dulu. Karena Acara itu di mulai setelah shalat isya, akhirnya dengan hati ikhlas Aku menunaikan ibadah shalat Isya. Aku, Afia, dan Indah, berjamaah shalat isya. Selesai itu, kami keluar dari masjid menuju ke rumah Pak H. Asep. Tak jauh dari masjid, rumah Pak H. Asep terletak di depan Masjid.
Kami mengikuti baris berbaris, sambil Silaturahmi. Ketika bersalam-salaman, satu persatu mendapatkan konsumsi. Menurutku, aku tidak terlalu tergiur oleh konsumsi atau bingkisan semacam nya.
Sudah tiba di depan Ibu-Ibu pembagi konsumsi atau bisa di bilang panitia, aku salim pada nya. Tapi, biasa nya ibu-ibu itu memberi konsumsi. Tapi aku santai, dan tidak terlalu protes begini-begitu.
“Kenapa ya? Anak kecil nggak di kasih makanan?” Celoteh Indah yang berdiri di hadapan ku. Dia terlihat bersedih, sama seperti Afia, Ia juga bersedih. Seharus nya tidak boleh begitu, menurutku seharus nya cuek aja, kita ambil hikmah nya aja.
Beberapa lagam shalawatan terdengar merdu. Para jamaah pengajian sudah mulai memasuki rumah Pak H. Asep. Jumlah nya ratusan, tak terhitung. Jamaah nya, memakai baju bertema hijau. Ada pula yang memakai baju yang bertema lain. Aku duduk paling belakang, tapi aku masih bisa mendengar suara yang di buat oleh pak RW. Samping kiri ku ada ibu-ibu, entah siapa namanya. Yang jelas rumah nya di kompleks belakang rumah Pak H. Asep, tepat nya kontrakan-kontrakan.
Teman ku gelisah, mencari-cari akal untuk mendapat kan bingkisan. Tapi, aku tidak begitu. Aku ke pengajian ini Ikhlas dan tidak mengharapkan itu. Mereka berdua terus memancing, seperti ‘Kebelakang yuk!’. Karena Bu Haji sedang ada di ruang tamu, kebetulan kamar mandi nya juga dekat ruang tamu. Jadi, mereka ke air sambil mencari-cari alasan. Akhirnya mereka mendapatkan nya, mereka senang. Aku juga senang, tapi yang membuatku bersedih “Kenapa, setelah mereka berhasil. Mereka tidak berbagi sama sekali, mereka tidak setia kawan. Mereka serakah, mereka tersenyum bahagia, tapi jahat. Mereka.. ahk!” Pekik ku dalam hati, perasaan itu sungguh seperti tidak ada kata “Sahabat” di antara aku dan mereka.
Setelah beberapa lama mendengar pak RW membaca pembukaan, Para jamaah membaca surat yasin. Setelah selesai, pak ustad hampir memulai ceramah, dan Ibu disampingku itu bertanya-tanya pada ku. Panggil saja ibu itu Bu Eka, tapi entah siapa nama asli nya. Ibu Eka itu menanyakan rumah ku, nama ku, sekolah ku, kelas ku, dan semacam nya. Saat ceramah di mulai, aku mendengarkan penuh perhatian. Tapi sempat tidak mengerti juga, karena Ibu Eka sungguh mengganggu kefokusan ku pada Pak Ustadz yang sedang ceramah. Akhir kalimat dia menanyakan sesuatu, yang membuat ku berani untuk menyelidiki soal ‘biasa nya, saat aku tidak hadir ke pengajian itu, aku melihat semua sama rata di beri konsumsi. Aduuuh.. laper’. Ibu Eka menanyakan pada ku, hal yang ku maksud tadi
“De, bingkisan kamu mana?” Tanya ibu Eka. Sambil melihat sekeliling tangan ku yang kosong, hanya membawa tas yang berisi mukenah.
“Maaf bu, saya kesini bukan mencari bingkisan. Tapi mau mendengar Pak Ustadz ceramah “Aku tersenyum, dan kembali semangat karena ucapan ku tadi, entah apa perasaan ku. Tapi aku sungguh berani sekali menjawab pertanyaan ganjil itu. Ibu Eka itu terdiam, dan tidak pernah bertanya lagi sampai ceramah selesai. Saat ceramah selesai, seluruh jamaah berdoa bersama. Dan aku turut meluncurkan air mata, aku ikuti apa saran Pak Ustadz. Untuk puasa Rajab di esok hari, dan lebih giat lagi beribadah.
Kini aku sudah tahu, panitia-panitia itu menganggap anak kecil seumuran ku hanya menginginkan ‘Bingkisan’. Tapi, nyata nya tidak begitu. Aku sudah mengerti, ibu-ibu itu menganggap kami sebelah mata, memandang kami bukan dari sisi baik nya. Tapi, dari apa yang Ia lihat.

Tanggal 20 maret yang lalu aku menikah dengan orang yang tidak kukenal. aku duduk bersanding di pelaminan bagai sepasang merpati yang sedang terbang. ribuan mata dan sorotan lampu kamera yang menyaksikan moment indahku. Rencana aku dan suamiku hendak berbulan madu di CAPE TOWN (afrika) tepatnya di hotel berbintang. beberapa hari setelah pernikahan, kami berdua menuju ke sana. Singkat cerita. sesampainya di sana, suamiku pun mengajakku untuk dinner (makan malam). sesampai di cafe, ia pun mengajakku untuk makan.
“Sayang, mau makan apa?”
“Makan apa aja boleh”. jawabku dengan keras.
“Cepat dong sayang, makan apa?”
“Cupcake saja lah. gak usah banyak basa-basi, dasar suami kepo!”
Suamiku pun tertunduk akibat bentakan suaraku yang dahsyat.
Beberapa jam setelah dinner, saatnya ke hotel. sesampai di hotel, suamiku pun memanggilku. rasanya ada seorang artis yang memanggil suara SUUULEEE. tapi suamiku memanggil nama kecilku.
“taaannntriii, sini sayang..”
“ah, ciaka’ (saya tidak mau)”
“maga memengngi mucia (kenapa kamu tidak mau)?”
“ah, pajaini maraja kutana (tidak usah banyak tanya)!”
Betul-betul suami kepo. ini semua gara-gara orang tuaku yang bejat untuk menikahkanku dengan orang tua itu. coba bayangkan, umurku masih dua puluh tahun dan umurnya menjelang tiga puluh dua tahun. tentu saja jauh berbeda. Jauh-jauhnya aku menuntut ilmu tapi malah di paksa pulang kampung untuk menikah. sungguh malang nasib diriku. di tambah lagi dengan problema keluargaku. rasanya diriku ingin mati muda.
Sejenak ku merenungi nasibku dan tiba-tiba aku menangis histeris. ku sengaja histeris agar suamiku tidak mendekatiku. Ternyata, dia mendekatiku untuk menenangkan pikiranku.
“Ada apa denganmu sayang?”
“Ah, gak usah banyak bacot. Aku minta CERAI!” jawabku sambil meludah di depan suamiku.
“Jangan sayang, aku sayang kamu.”
aku tetap selalu berusaha agar aku tidak bertahan dengannya. Aku masih tetap komunikasi dengan pacarku yang berinsial “L”. Beberapa jam kemudian, ibuku menelponku.
“Baik-baik jeki’ nak (apakah kau baik-baik nak)?”
“Ah, gak usah banyak nanya deh bu, sekarang saya sudah terpuruk dan tersiksa dengan lelaki tua ini. to the point, aku mau cerai dan menikah dengan pacarku!”
“Tantri, yang namanya perceraian itu sangatlah sulit. Apakah kamu tidak malu kalau kamu menyandang status JANDA?”
Aku pun muak dengan kata-kata ibuku dan akhirnya telepon dihentikan. setelah itu, akupun menuju ke toilet untuk menangis sampai puas. disitulah aku betul-betul menangis dan akhirnya, suamiku pun mengetuk pintu agar ku keluar. aku menghapus air mataku agar dia tidak tahu bahwa saya ini di siksa olehnya.
Setelah ku keluar, dia pun memegang tanganku. aku mengambil gunting dan aku pun menusuk perutnya. Yaa Allaah, ada apa dengan hambamu ini? Diriku bukan lagi perhiasan dunia. Akan tetapi diriku sudah menjadi sampah dunia. Setelah ku tusuk perut suamiku, aku pun kabur dan menuju ke jembatan. sesampai di jembatan, aku menyesali perbuatanku dan aku ingin bunuh diri.
Aku hendak melompat. hhh, rasanya diriku takut.
Beberapa jam kemudian, alarm pun berbunyi pertanda bahwa sudah memasuki tanggal 20 maret dan ternyata ini hanya MIMPI BELAKA. Ku terbangun menunaikan shalat tahajud dan shalat subuh. Setelah itu aku berdoa agar tidak terjadi hal ini lagi :)

Cerpen Islami


Dari selembar kertas kutulis pengalamanku yang membuatku menangis. Menangis deras untuk sebuah benda yang hilang. Betapa pentingnya benda itu untukku dan keluargaku. Benda itu hanyalah sebuah hp dan sebuah mobil pick up yang menemani ayahku bekerja, ayahku seorang mebeler (memiliki usaha membuat kursi dan meja sekolah). Karena itu aku menangis karena untuk membeli hp saja aku harus menyisihkan uang jajanku. Dan orangtuaku pun harus memulai menabung untuk membeli mobil lagi.
Saat itu aku akan memulai kehidupan baru. yaitu MOS di SMKN 1 KARAWANG. Yang tidak lain sekolah yang kuinginkan. Aku sangat bahagia memulai kehidupan baru di SMKN 1 KARAWANG. aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaku adalah laki-laki yang sudah bekerja di PT kusuma Jaya sebagai drafter (gambar bangunan), dan aku seorang pelajar yang memulai kehidupannya di SMK, dan adikku yang masih duduk di TK (Taman Kanak-Kanak)
Suatu hari ada kejadian yang membuat orangtuaku terpuruk dan hampir jatuh sakit. kejadian itu saat malam hari. Betapa nyeyaknya keluargaku tidur pada malam hari itu. Pada jam 4 pagi ibuku bangun seperti biasanya. Dan ia mengintip ke jendela dan biasanya mobil parkir di depan rumah, ternyata mobil tidak ada. Ibuku langsung menjerit dan memanggil ayahku yang sedang tidur sehabis shalat tahajud. Ayahku langsung menghampiri dan semua orang yang ada di dalam rumahku bangun untuk menghampiri ibuku yang menjerit. Ayahku terkejut melihat mobil tidak ada di depan rumah. Dia panik dan dia mencari ke arah barat. Tetapi mobil itu tidak ditemukan. Orangtuaku menangis dan aku juga ikut kesal dengan kejadian ini.
Beberapa hari kemudian, aku akan mengikuti MOS dan aku harus memcuci foto 4×6 untuk persyaratan MOS. Dan aku mencuci foto itu dari hp. Saat aku berada di tukang cuci foto aku melupakan hp ku yang sedang di atas meja. Setelah aku mencuci foto, aku langsung pulang. Dan aku baru ingat setelah makan siang bahwa hp ku tidak ada di dalam tas. Lalu aku mencari-cari ke tempat yang sudah di datangi sebelum aku makan siang. Hp ku tidak ditemukan. Lalu aku harus berkata jujur kepada ibuku kalau hp ku hilang. Saat aku memberitahu ibuku bahwa hp ku hilang, ibuku langsung terkejut dan memarahiku. Dan akhirnya aku mengeluarkan air mataku. Ibuku berkata “beberapa hari lalu kita dapat musibah kehilangan mobil dan sekarang hp, kamu harusnya mengerti orang tua kamu yang sedang sedih karena musibah yang lalu”. Air mataku mengalir lagi dengan rasa takut.
Beberapa minggu kemudian, keluargaku menonton TV yang filmnya tentang arti kehidupan. Ternyata kita merasa tersentuh atas kehidupan mereka yang kurang beruntung. Ceritanya itu, seorang nenek tua yang hidup sebatang kara dan dia bekerja sebagai pengumpul rambut. Dia membeli rambut-rambut tetangga yang dikumpulkan oleh tetangganya. Untuk kebutuhan sehari-harinya dia harus bekerja dulu. Setiap dia tidak bekerja pasti dia tidak mempunyai uang untuk makan maupun untuk membeli rambut-rambut tetangganya yang akan di jual. Dia hanya berkata “saya bekerja itu hanya untuk menyambungi hidup saya, saya tidak peduli orang mau bilang apa atau kasihan kepada saya. Tapi saya tetap tidak menyerah untuk menghidupi kebutuhan saya yang sebatang kara ini. Karena masih ada kesempatan yang saya jalani. Meskipun itu pahit untuk saya”
Setelah aku dan keluargaku menonton film itu, ibuku berkata “ya allah, masih ada yang tidak lebih baik kehidupannya dari kita. Meskipun kita di landa musibah yang sangat besar. Allah memang adil”. Dan di situ ayahku menangis untuk pertama kalinya ku lihat dan juga berkata “mobil masih bisa di beli, mau mobil mah nabung lagi aja”. Hati aku ter-iris mendengar ucapan dan nada ayahku yang sedih. Aku langsung masuk kamar karena aku tidak kuat menahan air mataku yang akan keluar dari mataku. Di dalam kamar aku tersedu menangis karena ucapan ayahku. Dalam hatiku berkata “ya allah, musibah yang hanya seperti ini saja menjadikan keluargaku down. Mungkin ini ujian untuk keluargaku. Engkau maha adil ya allah”.
Betapa bahagianya aku dilahirkan di kehidupan sederhana yang tidak penuh dengan kemewahan yang mungkin akan membuatku sombong. Dan keharmonisan keluargaku yang membuat aku dan keluargaku dekat. Allah memang maha adil.

Cerpen Islami


Namaku Syifa Zahfania, kebanyakan teman-temanku memanggil dengan Syifa. Di kelas aku di kenal cewek paling tomboy. Karena cara bertingkahku yang seperti cowok, dan bergaulku yang tak lepas dari cowok. Aku termasuk cewek per*kok mulai dari kelas 3 SMP. Jauh dari orangtua membuatku semakin menjadi anak yang tak berperilaku. Aku hanya hidup dengan kemewahan dari orangtua dan kedua pembantuku. Setiap hari yang aku pergi pagi pulang petang dan berkumpul dengan para gerombolan preman di jalan. Aku sangat menyukai kebebasan dan tak suka di kekang. Masa bodoh semua orang mau berkata apa tentang kehidupanku. Kehidupan mereka belum tentu benar.
Sekarang aku sudah menginjak dewasa dan mulai masuk perguruan tinggi. Di kampus tak ada yang layak untuk aku jadikan teman, semua sok sibuk dengan tugas-tugas kampus. Aku memilih untuk menyendiri di bangku pojok. Kunikmati sebatang r*kok untuk menghilangkan penat di fikiran. Melihat banyak mahasiswa yang berjalan di koridor membuatku semakin suntuk. Ku langkahkan kaki untuk beranjak keluar dari kampus. Setiap sudut ku lihat banyak sekali mahasiswa yang berkeliaran tak karuan.
Bruukkk…
beberapa buku jatuh dari gengaman cewek berjilbab panjang yang menutupi dadanya. Cewek berkerudung pink mudah dengan mengenakan baju panjang tak taulah apa itu namanya. Beberapa detik ku lihat parasnya sangat indah dengan balutan jilbab yang dikenakan.
“Maaf”
Itulah kata yang keluar dari mulutnya. Aku hanya terdiam membisu mendengar ucapannya. Cewek itu tersenyum lalu mengambil bukunya kembali, dan berlalu dariku. Sungguh cantik parasnya. Tiba-tiba ada perasaan iri yang menyelimuti diriku setelah melihatnya. Tapi buru-buru ku buang perasaan iri itu. Aku lebih suka dengan diriku yang seperti ini.
^___^
“Terima kasih untuk semua mahasiswa yang telah menyedekahkan barang-barang kesayangan kalian untuk kami berikan kepada yang lebih membutuhkan”
Dari cara bicaranya, aku seperti mengenali. Aku lihat banyak sekali mahasiswa yang berkerumun pada stan kecil di tepi taman. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku beranjak pergi tanpa menoleh sedikitpun ke arah stan itu. Setelah beberapa langkah dari stan itu, seperti ada sesuatu yang menarik kuat langkahku untuk kembali menuju stan tersebut, perasaanku juga mengatakan untuk kembali menuju stan. Tanpa kusadari diriku sudah berada di depan stan. Semua mahasiswa telah pergi hanya ada dua cewek berjilbab yang salah satunya tak asing lagi. Setelah ku ingat wajahnya, bibirku tersenyum. Cewek yang cantik kemarin gumamku dalam hati.
“Assalamu’alaikum, silahkan mengunjungi stan kami jika ada yang ukhti ingin sedekahkan” ucapnya dengan lembut dan penuh senyuman.
“ukhti? Sedekah? Apa itu aku tak pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Dulu ketika SD, SMP sampai SMA aku sering bolos saat pelajaran agama, ujian praktek aja dapat nilai jelek. Aku hanya tersenyum binggung harus ngapain.
Cewek itu tiba-tiba menghampiriku, dari cara berjalannya beda banget dengan cewek lainnya apalagi sama aku jauhhhh. Semakin cewek itu mendekat semakin ada perasaan takut yang menyelimuti diriku entah kenapa rasanya perasaan iri ini menyeruak ke dalam jiwaku.
“Saudariku, bukankah kita pernah bertemu sebelumnya, saya Naura”. Ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Aku tak langsung menyambut uluran tanganya. Ku lihat senyum manis yang begitu tulus, juga cara berpakaianya yang sangat tertutup membuat diriku sangat iri, mengapa dia bisa begitu terlihat sempurna.
“Syi..fa” jawabku terbata dengan menyambut uluran tanganya. Begitu lembut tanganya serasa memegang kapas.
“Nama yang cukup bagus Syifa artinya penyembuh atau obat. Wah pasti kamu bangga dengan nama kamu”
Aku kembali tersenyum. Aku saja tak menyadari akan bagusnya namaku, apalagi sampai ada artinya.
“Mari bergabung di stan kami, meskipun Syifa nggak sedekah nggak masalah kok, yang penting Syifa senang bisa bergabung dengan stan kami”
Kini kau benar-benar bagaikan patung, tak mampu berkata dan berbuat apa-apa lagi. hanya iya iya iya dan iya tidak ada kata menolak.
Aku duduk di samping Naura yang sedang asyik merapikan beberapa barang yang berada di meja dan di masukkan ke dalam kardus. Beberapa menit kemudian semua barang sudah di kemas dalam kardus dan dimasukkan ke dalam mobil.
“Syifa ikut kami ke Panti Asuhan yuk, untuk memberikan sumbangan ini” ajak Naura dengan menarik lenganku, untuk terakhir kalinya mulutku tak bisa untuk menolak ajakannya.
Selama perjalanan menuju Panti Asuhan aku hanya terdiam, ku lihat Naura sedang berkomat kamit entah apa yang dia baca. Begitupula dengan teman di sampingnya. Jadi binggung sendiri harus ngapain. Mencoba komat-kamit tapi mau baca apa, serba binggung.
Tak lama kemudian sampailah di sebuah tempat tak begitu luas, tapi terlihat sangat tenang suasananya. Naura mengambil beberapa kardus yang telah di pak dan masuk ke dalam ruang tamu. Akupun ikut membantu membawa barang yang masih tertinggal di mobil dan masuk ke dalam ruang tamu.
Tampak sekali keakraban Naura dengan wanita berpakaian panjang berwarna merah marun yang duduk bersanding dengannya. Senyuman yang selalu menghiasi di setiap kata-katanya. Canda kecil yang terlontar dari mulut Naura dan pelukan akrab Naura kepada ibu yang duduk di sampingnya sangat membuatku terpukau. Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Syifa, kita tengok anak-anak yuk, mereka sedang bermain di dalam” ajak Naura dengan mengandeng tanganku. Aku hanya terdiam melihat gengaman tangan Naura. Baru kali ini aku merasakan sebuah sentuhan yang benar-benar lembut.
Tak jauh dari beberapa langkah kami, seorang anak memanggil nama Naura dari belakang.
“Kak Nauuurrraaaa” teriak seorang gadis kecil berkerudung coklat
“Naumi sayang” jawab Naura seraya memeluknya dengan penuh kasih sayang, beberapa kali Naura mengecup kening gadis itu.
“Eh kenalan sama teman kakak, ini namanya kak Syifa” ucap Naura dengan membantu mengulurkan tangan gadis itu ke arahku.
“Syifa”. Jawabku singkat dan tersenyum
“hmmm, kak Syifa kok sepertinya cemberut pasti ada masalah yah” ucap Naumi dengan menarik lengan bajuku.
“Naumi sok tau ah, kak Syifa gak ada masalah kok”. ucapku pelan.
“kalau kak Syifa ada masalah curhat sama Allah saja, Naumi yakin Allah pasti membantu kak Syifa’. Oh iya kak Syifa kok gak pakai jilbab sih, nanti Allah gak mau lho menerima curhat dari kak Syifa”. Ucap Naumi polos
Jantungku seakan berdegup kencang, Allah? Jilbab?, selama ini aku jauh sekali dengannya. Bahkan aku tak mengenalnya. Sungguh aku belum pernah sekali mengingat Allah. Apa ini yang selalu membuatku merasa suntuk, kenapa aku baru menyadarinya. Tak terasa butiran halus telah jatuh ke pipi. Aku berlari keluar menjauh dari Naura dan Naumi. Aku bagaikan orang yang tak pantas berada dalam rangkulan mereka.
Semua bayangan dosaku mulai menghantui fikiranku. Hatiku seakan menjerit sakit ketika mengingat semua kesalahanku. Aku merasa menjadi orang yang paling merugi. Air mataku tak henti-hentinya mengalir deras bagaikan air hujan yang membasahi bumi yang begitu banyak debu yang mengotori bumi ini
“Syifa” ucap Naura di sampingku.
Aku tak ingin menoleh ke arahnya. Bahkan untuk melihat raut suci Naura aku tak sanggup. Aku hanya seorang Syifa, yang banyak melakukan dosa, bahkan dosaku kini menjadi lukisan dalam fikiranku.
“Kamu sakit hati dengan ucapan Naumi, dia kan masih gadis kecil yang polos. Jadi suka bicara ceplas ceplos” hibur Naura dengan membelai bahuku dengan lembut.
“aku nggak merasa sakit hati dengan ucapan Naumi, bahkan aku merasa lega karena Naumi mengingatkanku akan Allah dan jilbab yang sudah sekian tahun aku lupakan”. ucapku dengan tertunduk.
“Alhamdulillah, itu tandanya Allah sayang dengan kamu Syifa. Karena Syifa masih di beri keluwesan hati untuk berubah. Allah sangat mencintai orang yang ingin berubah”
“Tapi dosaku sangat banyak Naura, bahkan akupun sangat malu berdekatan dengan wanita suci dan sempurna seperti kamu”
“Astaghfirullah kamu tidak boleh berkata seperti itu Syifa. Manusia di dunia ini tak ada yang sempurna, hanya satu yaitu Allah yang memiliki kesempurnaan, aku hanya manusia biasa yang tak luput dari sebuah dosa. Kamu harus ingat Syifa seberapa banyak dosa seorang hambanya kepada Allah baik itu setinggi gunung, seluas samudra jika kita ingin berubah dan bertaubat maka akan runtuhkan segala dosa kita”
“Tapi Allah gak mungkin bisa memaafkan kesalahaku Naura”
“Syifa, Allah itu memiliki sifat ghofuur yang artinya maha pemaaf. Jadi jika kamu ingin benar-benar berubah dan bertaubat maka Allah akan mengampuni segala dosa kamu, yakinlah bahwa Allah itu tidak tidur Allah tau apa yang kita niatkan dalam hati. Semasa niat itu baik maka Allah akan menyempurnakannya”.
Aku menatap kedua bola mata Naura yang penuh dengan kelembutan, ku dekap erat tubuhnya. Aku benar-benar bahagia bisa bertemu dengannya.
“Aku ingin berubah, ajari aku sholat dan mengenal Allah” ucapku pelan
“Syukur Alhamdulillah aku sangat senang mendengarnya”.
^____^
Sebulan telah berlalu, sejak berteman dengan Naura aku banyak mengalami perubahan. Yang dulu sering meninggalkan sholat jadi gak mau sampai telat untuk berjama’ah sholat wajib di tambah dengan sholat sunnah, yang dulu selalu membangkang nasihat bunda kini selalu nurut apa yang dikatakan jawabannya iya semua, gak pernah pulang malam, sudah bisa mengaji Al-Qur’an walaupun sedikit terbata-bata. Hanya satu yang belum aku perbaharui yaitu mengenakan jilbab.
Sepertinya Hatiku belum mantap untuk mengenakannya, akan tetapi banyak dorongan dalam diriku yang mendesak untuk mencoba mengenakan jilbab. Sulit sekali untuk memantapkan hatiku.
“Assalamu’alaikum Syifa” sapa Naura mengagetkanku.
“Wa’alaikumsalam Naura” jawabku dengan senyuman.
Eitss lupa, semenjak aku berteman dengan Naura, nggak lepas dari salam setiap ketemu. Terkadang saat aku tiba-tiba menyapa Naura dengan sebutan nama pasti nggak mau noleh, harus pakai salam dulu. Awalnya sering lupa, tapi karena sering di lakukan jadi terbiasa. Kata Naura dengan mengucapkan salam itu sama saja dengan mendo’akan diri kita, bahkan menjawab salam saja sampai diwajibkan?.
“Naura, apakah seorang wanita wajib hukumnya mengenakan jilbab”
“Syifa, aurat seorang wanita itu mulai dari ujung rambut sampai kaki, kecuali muka dan telapak tangan. Bahkan ada perintah tutuplah aurat kamu karena itu adalah perintah agama, jadi manakala kita meninggalkan itu kita akan kena sangsi, dan sangsi dari Allah itu adalah siksaan di akhirat.”
“Lalu kenapa kita di wajibakn mengenakan jilbab?”
“kita hanya manusia bisa yang diciptakan, dan masih ada kekuasaan yang Maha besar yang menguasai diri kita. Dialah Allah, yang menguasai setiap helai rambut kita, setiap hembusan nafas kita dan langkah kaki kita. Sehingga tidaklah salah jika Allah memberikan perintah untuk mewajibkan kita mengenakan jilbab, dan jikala kita mnegenakan jilbab tidak akan rugi”.
“kenapa gitu kok gak rugi, bukankah kecantikan kita tidak terlihat. Kan ada orang yang bilang kalau rambut kita adalah mahkota, jadi dengan terlihatnya rambut kita maka orang-orang akan menilai kita cantik”.
“kamu kurang benar Syifa, bahkan dengan kita mengenakan jilbab maka identitas kita akan cepat di kenali oleh orang. Bahkan dengan mengenakan jilbab kita akan terlihat lebih nyaman, tentram, anggung dan mempesona. Rambut memang mahkota terindah yang dimiliki oleh wanita, akan tetapi alangkah baiknya jika mahkota itu kita simpan dan kita jaga kemurniannya dengan berjilbab.”
“kamu betul Naura, InsyaALLAH aku akan mencoba untuk mengenakan jilbab”
“Alhamdulillah, gitu donk ini namanya sahabat muslimah sejatiku”
Aku tersenyum ke arah Naura, benar-benar perfect muslimah deh Naura, cantik iya, baik dapet, akhlaknya mulia, tutur katanya halus, sikapnya lembut. Hmm idaman para lelaki sholeh.
“Syifa, aku punya sesuatu untuk kamu, kebetulan tadi aku melihat di toko batik, sepertinya cocok dengan kamu” ucap Naura dengan menyodorkan tas kecil.
Dengan sedikit malu aku terima bingkisan tas berwarna hijau itu. Dan ketika kubuka ternyata isinya tiga warna jilbab berwarna hijau, merah dan orange.
“cantik sekali jilbabnya, terima kasih banyak Naura. Eh kok bisa tepat sekali saat aku mendambakan ingin berjilbab ya”
“hmm, itu karena kita sahabat muslimah sejati?, semoga saja kamu benar-benar bisa menjadi muslimah sejati”
"Amin"

Kamis, 06 Juni 2013


Aku tertawa-tawa bersama teman-temanku Alumni SD angkatanku. Hari ini sekolahku mengadakan reunian akbar. Dari satu angkatan diatas angkatanku hingga dua angkatan dibawahku. Bertempat di Sekolah ini, aku takjub mendapati banyak sekali orang yang hadir. Bahkan anak cowoknya pun hadir, dan tentu saja dengan perubahan mereka karena sudah empat tahun aku tidak melihat dia lagi. Kan sudah lulus dari SD ini.
“Nay, jadi ke rumahku nggak?” Tanya Hana.
“Sip” kataku. “Eh, Nina nagihin gambar pas kita dare di rumahmu tuh” Nina adalah temanku di SMA dan teman Hana di SMP.
“Ya udah” kata Hana. “Lif, ketemu teman SMP ku nggak pa-pa kan?” Alif mengancungkan jempol. Aku, Hana, Alif, dan Dena akan ke rumah Hana (kan udah dibilang).
Aku memandang ke sembarang arah, acara inti memang sudah selesai. Sekarang waktunya acara ngobrol-ngobrol. Beberapa ada yang ngobrol dengan beberapa guru yang mengajar kami dulu. Tiba-tiba pandanganku menubruk sesosok cowok. Awalnya aku kembali melemparkan pandangan.
Tapi tunggu, aku menoleh lagi. Sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana yah? Tahu ah, aku pun bersikap tidak peduli.
>_<
Rasanya tidak enak kalau aku tidak pernah menceritakan sebuah kenangan di SD ku. Akan ku ceritakan salah satunya. Yang terindah? Mungkin. Atau… bisa jadi!
Namanya Ziyad Ramadhan, Dia adalah kakak kelasku. Namun sebenarnya dia anak pindahan saat aku kelas empat (dan dia kelas lima). Kulitnya putih, bibir nya merah (aku malu setiap menyebut itu, dia kan cowok), perawakannya pun tinggi dan cukup berisi. Karena aku anaknya cuek, dan saat itu belum ngerti tentang cowok. Aku tidak bisa memastikan (sampai sekarang) apa dia itu terlalu cantik untuk seorang cowok.
Aku ingat sekali saat pertama kali bertemu dia. Saat itu hari Selasa. Anak-anak bersiap-siap pergi ke masjid untuk shalat dzuhur. Aku? Malah kabur ke gedung TK yang satu komplek dengan gedung SD. Disitulah aku bertemu dia untuk pertama kalinya.
“Hai” sapanya.
Begitu dia pergi, aku langsung terbengong. Siapa cowok ini? Batinku bingung. Akhirnya aku menengok ke arah lapangan. Alamak, di masjid udah muroja’ah*!. Aku langsung lari menuju masjid.
Seumur hidup aku tidak pernah di sapa oleh cowok. Namun seorang cowok yang tidak ku kenal menyapaku sebegitu enaknya. Dan hal itu berulang beberapa kali hingga membuatku malu dan ingin menghindarinya.
Akhirnya aku tahu kalau dia kakak kelasku, akupun bertanya pada Kak Jihan anak angkatannya. Akhirnya Kak Jihan menjawab, “Namanya Ziyad” aku manggut-manggut. Oh itu namanya.
Hal itu terjadi berulang kali. Suatu hari kelakuan dia tertangkap basah oleh teman-temanku. Itu sih salah dia, kenapa harus nyapa di depan banyak orang. Tentunya hal itu dapat menimbulkan salah presepsi di benak banyak orang, kan repot jadinya. Kalian satu pendapat denganku kan?
Perasaan itu belum muncul. Bahkan aku selalu menghindarinya karena aku selalu bingung aku harus jawab apa setiap di sapa olehnya. Mungkin hanya menjawab, “Ya” atau “Apa?”. Ya.. semacam itulah.
///
“Hayo bacaannya..” aku menoleh.
Ya elah bocah ini lagi, bikin kaget aja. Aku memandangi buku yang ku baca. Isinya memang cukup dewasa sih, bahkan sempat nyerempet ke pernikahan segala.
Aku memang suka membaca apa saja, walaupun harus nyerempet ke topik yang belum saatnya ku baca (belum cukup umur tahu). Aku ingat, aku pernah menjadi objek ‘konsultasi’ ayahku di sebuah kajian parenting di sebuah radio islam (dan ayah mendramatisir usianya menjadi 8 tahun, padahal usiaku sudah 11 tahun). Lalu mendapat doorprize pertanyaan terbaik. Huff. Hal itu terjadi setahu setelah kami terpisah.
Dia ternyata juga suka berada di Perpustakaan. Dari saat letak perpustakaan di lantai dua, hingga berpindah di tempatnya yang bertahan hingga sekarang. Walaupun entah buku apa saja yang ia baca. Bahkan sampai masuk brosur dengan pose baca Koran. Padahal aku yang jauh lebih rajin darinya saja nggak kebagian (he.he… not important).
Perlu di garis bawahi (di bold, italic, underline, gedein juga boleh). Aku rajin ke Perpustakaan bukan karena kehadirannya. Justru aku kadang-kadang doang bertemu dengan dia. Itupun sibuk dengan dunia masing-masing.
Rajin ke Perpustakaan itu adalah habbitku sejak lama. Terjadi sejak SD ku baru punya Perpustakaan yang sederhana. tampa computer, rak, pengaturan yang cukup berantakan. Letaknya di sebelah ruang kelas ku semasa kelas dua.
Aku ingat, hampir setiap hari buku di tangan ku selalu berganti. Hari ini buku A Besok Buku B. Aku ingat, di usia itu aku udah baca tentang kisah perjanjian linggarjati.
Wei, wei, kok jadi ngawur begini sih? Oke kita kembali ke topik. Kehadiran cowok ini memang selalu mengagetkan. Namun saat aku dan dia terpisah bertahun kemudian (tanpa kabar, aku bahkan nggak yakin dia masih ingat aku), terkadang aku tersenyum jika mengenang hal itu. Karena aku merasa apa ya? Merasa diperhatikan? Tapi saat itu Nayla kecil belum mengerti hal itu.
Singkatnya, tanpa terasa perasaan itu mulai bersemi. Saat itu akhir kelas empat. Namun sayangnya dia menyukai (apa disukai?) teman seangkatanku namanya Rina. Dia memang cantik sih, lebih cantik daripada aku. Namun aku pun tidak peduli dia menyukai aku atau nggak, yang jelas aku menyukainya titik.
Setiap sholat zuhur dan asar (murid solat di masjid sekolah). Pasti aku menantikan kedatangan dia dengan teman-temannya. Setiap dia ada atau lewat aku pasti girang. Ya.. biarpun aku sembunyiin sih. Aku kan anaknya cool, he..he..
Saat itu aku tidak tahu apakah perasaan itu wajar muncul atau tidak. Berhubung usiaku yang masih belia saat itu. Tapi aku yang cuek tidak memedulikan hal itu. Mulai saat itu hidupku terasa mulai berwarna.
~(-_-)~
“Ayo, lagi ngapain tuh disitu?”
Aku yang sedang meringkuk di mainan perosotan berbentuk terowongan di gedung TK mendongak. Ternyata dia!
“Astaghfirullah!” reflek aku mundur. Lagi-lagi bikin kaget!
“Ayo, naksir teman ku ya?”
Lagi-lagi aku tambah melongo. Yang benar aja! Aku kan sukanya yang barusan ngomong (halah..). Tadi memang temannya sempat masuk ke area bermain TK. Aku yang duduk-duduk sendirian (berasa seperti orang gila) ngumpet di mainan perosotan berbentuk terowongan. Malu euy.
“Nggak Kak” jawabku tergagap. Aku langsung lari ke atas dan menuruni tangga. Aku pun kabur dari gedung TK. Tapi entah kenapa hatiku girang. Dan ingin meledak!
//\\//\\
Kelas lima SD, perasaan itu mulai sedikit memudar. Awalnya aku mengira tidak menyukai siapa-siapa lagi. Apalagi aku termasuk anak yang cuek. Namun ternyata aku salah.
Aku menyukai teman sekelasku namanya Robie. Dia pintar, lebih pintar dariku yang biasa-biasa saja. Terkesan cupu, tapi sok-sok jadi anak bandel.
Kalau ditanya alasan aku menyukai dia jawabanku adalah: NGGAK TAHU. Mungkin kalau bahasa anak zaman sekarang: Cinta Nggak Butuh Alasan. Seperti alasanku yang absurd mengapa aku menyukai Kak Ziyad. Tapi mungkin karena aku sering main sama Robie.
Singkatnya, aku dan Kak Ziyad sudah saling jaga imej. Ya.. mungkin karena dia juga persiapan Ujian Akhir (dan udah punya taksiran baru). Aku sibuk dengan pelajaran, ekskul, dan lain-lain. Kami pun benar-benar terpisah dalam dunianya sendiri.
Seperti saat festival Sekolah. Kami berdua berpapasan. Kami hanya lewat begitu saja.
XD
Tiga bulan sebelum kenaikan kelas enam. Semenjak itulah aku tidak pernah melihatnya lagi. Bahkan hingga lima setengah tahun kemudian. Saat usiaku memasuki batas anak-anak dengan kedewasaan.
Aku tidak tahu dia melanjutkan sekolah dimana (memangnya dia tahu?). Bahkan aku sudah tidak mampu lagi mengingatkan wajahnya. Kecuali yang ku sebutkan di awal. Selain itu aku nggak ingat lagi.
Jujur, saat dia pergi. Untuk pertama kalinya aku merasa kehilangan. Kalau boleh aku berlebihan, itu mungkin rasa kehilangan terbesar yang ku rasakan hingga saat ini. Bahkan aku sempat menyesal kenapa menyukai orang lain. Tapi itu kekanakkan ah!
Namun makin dewasa usiaku, perasaan itu berangsur mereda. Atau mungkin mengalami hibernasi. Apalagi, aku sempat pergi meninggalkan tempat kelahiranku untuk bersekolah di sekolah berasrama. Jadi namanya terpisah. Saling meninggalkan.
Apalagi ternyata dia bukan orang yang terakhir. Ternyata pikiranku masih teralih pada orang lain. Memang remaja seusiaku masih labil. Walaupun tentu saja kenangan itu yang tetap kusimpan. Bisa menjadi pelajaran. Karena ternyata aku termasuk orang yang ‘gajul’. Padahal aku sudah tahu tentang adab pergaulan lawan jenis.
Entah aku akan bertemu lagi dengan dia atau tidak. Hanya takdir yang menentukan. Bahkan kalau memang pada akhirnya kami disatukan itu juga takdir. Yang jelas, aku tidak ingin pacaran sebelum menikah. Aku ingin memperbaiki diri dulu, sekalian memohon agar di anugrahi jodoh yang baik. Intinya hanya bisa menunggu takdir, dan berdoa sebisaku.
Aku memandangi gedung TK yang belum dirombak hingga saat ini. Mainannya, cat nya, semuanya. Aku pun hanya menghembuskan nafas. Benar-benar tempat penuh kenangan. Tiba-tiba HP ku berbunyi dari Nina. Dia ada di gedung SMA, sedang menyelesaikan mading. Kebetulan dia masuk tim jurnalistik sekolah.
“Udah selesai belum?” Tanyanya.
“Bentar lagi nih” jawabku. “Bawa teman SD nggak pa-pa ya?”
“Sip” jawabnya. “Reina, Jihan, sama Nindya juga ikut” Nindya teman SMA aku dan Nina. Tapi nggak kenal sama Hana.
“Udah bilang sama Hana?” Tanyaku. Wah, bakal rame nih rumah orang.
“Dia bilang sih ayo-ayo aja. Senang malah” jawabnya.
“Ya udah, kalian ke sana aja. Tuh mereka mau kesini” aku pun memutuskan sambungan.
Saat aku menghampiri motor. HP yang kumain-mainkan dengan tangan terlepas dan terjatuh. Syukurnya dia HP yang kuat. Hanya bagian-bagian yang terlepas-lepas. Aku pun membungkuk untuk memungutnya. Sembari menggerutu dalam hati menyesali ke sompralan ku.
Setelah memasang bagian-bagian. Aku bangkit, saat itu aku melihat cowok yang tadi. Aku langsung memalingkan muka karena malu dengan wajahnya yang cakep (kalau jelek sama aja sih, tapi yang ini lebih berefek). Lalu berjalan menghampiri motorku. Tanpa sengaja aku memergoki tatapannya yang mengarah pada ku.
Dia kenapa?
*Mengulang Hafalan Qur’an

Davis mencintainya…
Dia sangat yakin dengan hal itu. Pemuda ini bahkan sudah melakukan banyak percobaan konyol hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar-benar cinta yang ia rasakan saat ini dan membuatnya gelisah setiap saat. Hasilnya tentu saja, ia memang benar-benar mencintai gadis itu. Dan tidak akan ada sesuatu apapun yang bisa membuatnya ragu.
Davis sangat mencintainya…
Tapi gadis itu tidak pernah melihatnya. Selama hidupnya, fokus gadis itu hanya ada satu, yaitu pada kakak laki-lakinya. Entah apa yang membuat gadis itu menjadi sangat-sangat terobsesi pada kakaknya itu. Mungkin gadis ini punya kelainan dan mengidap penyakit incest atau brother complex yang sangat akut, mungkin.
Davis sendiri juga tidak mengerti kenapa. Padahal dia jauh lebih baik, keren, berbakat, cerdas, pandai bergaul, dan populer dibandingkan dengan kakak gadis itu. Singkatnya, jika dibandingkan dengan dirinya sendiri, kakak laki-laki gadis itu tidak ada apa-apanya (itu menurut penilaian seorang Davis sendiri).
Tapi tetap saja, gadis itu tampak tidak peduli dengan apapun selain kakaknya. Karena itulah, segala hal yang bisa Davis lakukan hanyalah memandangi gadis itu secara diam-diam.
Davis tulus mencintainya…
Ia sangat-sangat mencintai gadis itu atas apapun yang ia miliki. Tapi apa yang mungkin bisa terjadi jika gadis itu bahkan tidak melihatnya? Gadis itu bahkan tidak pernah terlihat ingin menatap Davis sedikit pun.
Davis tidak bisa mendekati gadis itu. Bahkan hanya untuk sekedar menyapa dan mengucapkan ‘selamat pagi’ pun percuma. Gadis itu seakan tidak mendengar apapun kecuali kata-kata yang diucapkan oleh kakaknya. Kalau itu terus berlangsung, semua siksaan itu benar-benar akan membunuh Davis suatu saat nanti.
Davis benar-benar mencintainya…
Gadis itu sudah menjadi segalanya bagi Davis. Dia bahkan sudah membuat kamarnya sendiri bagai tempat pemujaan sesat untuk gadis itu. Berbagai macam foto hasil jepretan sembunyi-sembunyi tertempel mantap di setiap tempat yang ada di dinding kamarnya. Itu benar-benar menjadikannya sebagai penguntit nomor satu untuk gadis itu. Mengalahkan gadis itu sendiri dalam hal mengikuti kakaknya.
Untuk Davis, mencintai gadis itu sudah menjadi bagian tersendiri dari hidupnya. Dan Davis tidak akan pernah menyesali apapun dari keadaan kacaunya kali ini. Biarlah, toh tidak ada yang dirugikan karena itu semua. Lagipula…
Davis mencintainya dari hatinya yang terdalam…
Dia menyukai semua yang ada pada gadis itu. Semuanya, tanpa terkecuali. Mulai dari paras cantiknya yang dibingkai dengan indah oleh rambut sewarna kayu coklat yang panjang dan selalu dihiasi oleh sebuah pita. Lalu kulit putih pucatnya yang terasa dingin tetapi sangat lembut itu (Davis pernah tidak sengaja menyentuh tangan gadis itu yang berujung dia nyaris mati terjatuh dari tangga). Bahkan ekspresi datarnya yang menakutkan dan juga aura menyeramkan yang selalu terasa kuat dari gadis itu.
Davis menyukai semuanya dan ia benar-benar tidak bisa menemukan alasan untuk membencinya. Pemuda ini memang tidak akan pernah bisa membenci gadis itu sedikit pun. Apapun yang mungkin akan ada pada gadis itu.
Davis bersumpah bahwa ia mencintainya…
Demi apapun yang ada di bumi ini. Demi seluruh hidupnya yang sudah ia jalani sejak ia dilahirkan hingga saat ini. Dan demi semua yang ada pada dirinya sendiri. Dia sudah sangat mencintai gadis itu dan tidak akan pernah bisa berpaling darinya sedikit pun. Ia sudah mengambil seluruh keyakinannya dan membuktikan bahwa ia mencintai gadis itu.
Davis mencintainya…
Tapi Davis juga sangat tahu. Hanya meyakini dan percaya bahwa ia benar-benar mencintai gadis itu tidak akan berarti apa-apa jika gadis itu juga tidak tahu tentang perasaannya. Mustahil sang takdir akan menggariskan suatu hubungan antara mereka berdua jika tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha untuk melukis garis itu.
Davis meyakinkan dirinya sendiri. Ia sungguh-sungguh harus melakukan sesuatu sebelum perasaan ini menyiksanya lebih dalam dan membunuhnya, atau lambat laun dia akan membunuh dirinya sendiri karena sudah tidak tahan lagi. Menyimpan semua ini selama ini benar-benar suatu siksaan lahiriah maupun batin bagi Davis – atau siapapun.
Berbekal seluruh perasaan tulusnya selama ini dan juga keberaniannya yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah, Davis benar-benar meneguhkan hati untuk menemui gadis itu hari ini juga dan mengatakan seluruh perasaannya. Apa pun reaksi gadis itu, Davis sudah siap. Dia tidak akan peduli jika gadis itu marah atau melakukan hal buruk padanya. Setidaknya, Davis sudah mengatakan semua ini padanya.
Di bawah matahari terbenam musim panas, di tepi sungai bening yang memantulkan cahaya dan sesekali menimbulkan riaknya, Davis benar-benar mengatakan semuanya pada gadis itu.
“Cynthia,” ucap Davis gugup, “aku… menyukaimu…”
Belum ada reaksi dari sang gadis. Ia masih berdiri dan tak mengubah posisinya sejak tadi. Tapi dari tatapan matanya, Davis dapat menangkap bahwa gadis itu menuntut penjelasan yang lebih.
“A-aku tahu kalau kau bahkan mungkin tidak mengenalku. Tapi… aku… benar-benar menyukaimu, Cynthia. Kau itu cantik, perhatian, dan aku juga yakin bahwa kau itu sebenarnya baik. Dibalik semua sifat dinginmu itu… aku tahu kalau kau juga punya perasaan yang lain. Yah, pokoknya intinya adalah, aku menyukaimu atas… semua yang ada padamu… Tanpa ada alasan lain. Aku mencintaimu tanpa mengharap apapun.”
Sedikit kurang lancar memang, tapi Davis sudah berusaha sebaik-sebaiknya untuk mengatakan itu semua. Lagipula kalimat-kalimat tadi adalah kalimat paling bagus yang bisa ditemukan Davis saat ini… jika dibandingkan dengan kalimat gombal yang ia dapatkan dari salah satu temannya kemarin dan ia latihkan semalam suntuk…
Gadis bernama Cynthia itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih lembut. “Aku tahu siapa kau. Kau itu Davis Fones, pemuda banyak tingkah yang sering mencari-cari perhatian. Kau juga sering mencari masalah dengan kakak.”
Mendadak Davis merasa ingin melemparkan dirinya ke sungai. Ia benar-benar lupa fakta bahwa dirinya dan kakak gadis itu sudah seperti musuh sampai beberapa saat lalu. Demi, Tuhan, jangan buat semua ini gagal hanya karena itu! Oh, tapi Davis benar-benar sudah melangkah terlalu jauh sekarang, akan sangat memalukan kalau ia harus mundur dari sini–
“Aku tahu kalau kau juga sering memperhatikan dan mengikutiku.”
–jantung Davis langsung serasa ingin melompat keluar.
Cynthia kembali melanjutkan. “Tapi apa kau tahu,” gadis itu tersenyum, “aku juga sering memperhatikanmu.”
Davis benar-benar merasa jantungnya sudah terlempar entah ke mana sekarang dan otaknya sempat mati selama beberapa detik. Butuh waktu dua kali lipat lebih lama baginya untuk mencerna ucapan orang kali ini…
… Oh, Tuhan. Gadis ini juga memperhatikan dirinya? Bahkan mendapatkan hadiah liburan gratis keliling dunia sepuasnya ditambah dengan uang hadiah yang akan diberikan seumur hidup pun tidak bisa menandingi kejutan yang terlontar dari mulut gadis itu.
“Cyn-Cynthia…” Davis benar-benar kehilangan kemampuannya untuk menemukan kata-kata.
Cynthia tersenyum lagi, senyum manisnya yang sangat langka karena ia tidak pernah terlihat tersenyum selama ini. “Aku suka selalu melihatmu ada di sekelilingku dan menatapku secara diam-diam. Aku suka semua tingkahmu ketika mengikutiku selama ini,” Cynthia memalingkan wajahnya. “Tapi, kupikir aku akan lebih suka kalau kau tidak mengikutiku secara diam-diam lagi. Karena… hanya bisa melihat orang yang disukai secara diam-diam itu… sangat menyebalkan, kau tahu itu, kan?”
Davis yang tidak menyangka akan ucapan dari Cynthia barusan merasa bahwa otaknya sedang berhalusinasi. “Umm… Cynthia, kau…” ucapnya beberapa saat kemudian. Davis benar-benar tidak bisa menemukan kata-kata yang lebih baik lagi sekarang.
“Ya…” Cynthia masih memalingkan wajahnya, gadis ini tidak bisa menatap Davis. “Aku juga.. punya perasaan yang sama denganmu, Davis.”
Davis tersenyum lebar. Dengan perlahan ia berjalan mendekati Cynthia dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. “Lalu, Cyndy?” tanyanya langsung, entah sadar atau tidak kalau ia baru saja menyebut gadis itu dengan sebutan lain.
Cynthia mendadak memasang ekspresi kaget dan wajahnya makin merah. “Ka-kau memanggilku apa? Cyn-Cyndy?”
“Ma-masa? Yang benar?” Davis ikut bingung. “Ah, itu–”
“Tidak apa-apa,” potong Cynthia cepat. “A-aku… Kupikir aku… Kau bisa memanggilku seperti itu…”
Davis membelalakkan matanya. Sekali lagi, dia merasa kalau otaknya sempat mati. Cynthia mengizinkannya memanggilnya dengan panggilan itu? Panggilan Cyndy? Itu berarti…
“Kau… mau, Cyndy?” Davis mengucapkannya perlahan. Masih belum percaya.
Cynthia memalingkan wajahnya lagi. “Se-selama kau juga… denganku…” Cynthia berhenti sesaat, “aku… juga tidak keberatan…”
Dan sesaat setelah ia mengucapkan itu, hal yang Cynthia sadari adalah ia sudah berada dalam pelukan Davis. Pemuda itu memeluknya erat, juga hangat.
“Terima kasih.” Davis nyengir lebar sambil tetap memeluk Cynthia. “Dan aku mencintaimu, Cyndy.”
Sekarang adalah Cynthia yang bagai mati rasa. Merasakan hangat tubuh Davis yang memeluknya, samar-samar mendengar debar jantung pemuda itu yang begitu cepat, dan juga mendengar ucapan Davis tadi membuat perasaannya makin tak karuan. Perlahan diangkatnya kedua tangannya, membalas pelukan Davis.
“Aku juga… mencintaimu.”
Di bawah matahari terbenam musim panas, di tepi sungai bening yang memantulkan cahaya dan sesekali menimbulkan riaknya, garis takdir dari cinta dua manusia itu telah tergaris. Kuat dan manis.

Sebelum membaca tulisan ini marilah kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing… Kemudian marilah kita tertawa dulu… Hahaha… Karena seperti kata bang rhoma: ‘yuk kita santai agar otot tidak tegang’..
Lalu mulailah membaca dengan pelan-pelan sambil di eja… Hayah… Hakhakhak (mohon maaf ketikannya jelek).
Oke.. Langsung aja.. Cekidooottt:
Alkisah di sebuah sarang yang biasa-biasa saja di dalam rumah kosong yang biasa-biasa saja dalam sebuah kota yang biasa-biasa saja dalam sebuah negara yang juga biasa-biasa saja, hiduplah seekor tomcat dan keluarga besarnya. Keluarga besar mereka bernama keluarga tomcat. Kalo cerita ini tentang kucing, maka nama keluarganya adalah keluarga kucing (eng ing eng?).
Kehidupan keluarga tomcat tenteram-tenteram saja sebelum masuknya penghuni baru yang membawa malapetaka besar bagi keluarga mereka. Penghuni baru ini adalah keluarga yang tidak biasa-biasa saja, terdiri dari suami-istri yang super-duper-duplex perfectionis, dan tiga ekor anak monyet (ups!) tiga biji anak manusia yang kenakalannya setingkat sama dewa petir. Maka, inilah akhir dari kehidupan biasa-biasa saja dalam cerita pendek ini menuju awal dari kehidupan ironis para anggota keluarga besar tomcat.
Mengapa ironis? Apa pentingnya kehidupan seekor tomcat?
Nah, inilah kesalahan manusia abad ini. Mana bisa para manusia menghargai hak asasi manusia sementara hal-hal kecil seperti hak asasi tomcat saja masih enggan untuk di hargai?!
Pendek cerita, (karena cerita pendek) para anggota keluarga tomcat terbunuh oleh tiga anak monyet (eh, anak manusia) dengan sadis dan tidak berperiketomcatan. Ada yg terinjak, tenggelam, terkena upil, ataupun mati di penggorengan (dimakan loh!). Dan akhirnya, setelah pembantaian yang tidak tomcatwi itu, yang tersisa tinggallah pak tom dan tiga anak tom. Pertanyaannya, mana bu tom? Terbunuh kah? Tentu tidak. Bu tom meninggal waktu melahirkan nak tom yang notabene kembar tiga.
Jadilah pak tom menangis tiap malam, mengeluhlah dia pada tuhan.
“wahai tuhan! Dimana keadilanmu?! Mengapa semua ini harus terjadi pada makhluk kecil macam kami?!” (dan panjang lagi. Menurut sumber yang dapat di percaya, pak tom meminta petunjuk untuk melewati masa-masa sulit ini)
Terjadilah sesuatu saat pak tom tidur. Ia ketindisan (bukan!). Konon pak tom bermimpi bahwa anak-anaknya lah yang harus melakukan semua ini, mengalahkan tiga anak monyet (anak manusia) di luar sana.
Berceritalah pak tom pada tiga biji anak-anaknya, yang akhirnya setuju dan memutuskan untuk keluar dan membuat perhitungan dengan anak-anak monyet (eh, anak manusia). Berkatalah pak tom:
“berjuanglah anak-anakku, masa depan dunia tomcat ini ada di tangan kalian!” *mencium anak-anaknya.
(bersamaan) “ya ayah!” *mengelap bekas ciuman ayahnya.
Sambil mengantar anak-anaknya pergi, pak tom mengintip lewat jendela sambil menghitung langkah anak-anaknya. 1…2…3…4……8…9… “nyek! Krek! Dhuar!” *anak-anak tom terinjak oleh anak-anak monyet (anak manusia). Mati.
Betapa hancur jiwa pak tom melihat anak-anaknya mati secara mengenaskan di depan matanya. (ternyata cerita mimpi tentang anaknya salah, maaf pak tom, ini bukan cerita naruto)
Berteriaklah ia:
“tuhan! Kau memang pilih kasih! Coba saja kau tukar para manusia itu dengan kami! Mereka pasti takkan tahan dengan cobaan seperti ini! Kau lebih memihak para manusia daripada tomcat! Kau! Jika anakku tidak kau hidupkan kembali sampai esok pagi, maka kau takkan ku anggap tuhan lagi!”
Begitulah kira-kira doa pak tom menurut kutipan wartawan kami.
Terjadilah keajaiban.
Esok harinya pak tom terbangun dengan takjub. Bukan karena tiga biji anaknya hidup lagi, tapi karena yang terlihat di cermin adalah tubuhnya yang telah berwujud manusia. Dengan dua tangan dan dua kaki. Maka, dengan lantang dan menggema pak tom berteriak:
“saatnya balas dendam!”
Berlarilah ia keluar pintu rumahnya (sarang). Namun belum jauh ia berlari tiba-tiba… “krek! Nyek!”
Sebuah kaki raksasa menginjak pak tom, (kaki bapaknya anak monyet (eh, anak manusia) lalu mati.
Ternyata yang pak tom lihat di cermin hanya fatamorgana. Ia tetap saja tomcat.
Terdengarlah suara tuhan menggelegar dari langit: “ga semua yang kamu lihat itu bener!”

Aku menyesap hangatnya susu coklat di gelas putihku sambil menatap lekat-lekat setiap gerakan dan tindakan laki-laki di depanku. kutegaskan lagi, setiap gerakan dan tindakan. tidak terkecuali wajahnya yang terlihat sangat serius dan terlihat sangat hati-hati mengambil keputusan. 5 menit, 10 menit, 20 menit… astaga. aku gak tahan lagi.
“Arian, kamu ini main kartu apa abis di tembak sih? ngambil keputusan aja lama banget kayaknya,” kataku sambil memalingkan wajah ke luar jendela kafe.
“Main kartu itu tidak semudah bermain bulutangkis, Nad. kalau kamu gak mau aku lama-lama, nih, aku kasih kartu-kartu full house kesayanganku,” ucapnya seraya mengeluarkan 3 kartu J dan 2 kartu As. wow.
Kami berdua lalu terdiam. beberapa detik kemudian, kata ‘bodoh’ meluncur keluar ditemani dengan suara tawa kami berdua. sial, sudah lama tidak main kartu denganku, kupikir kemampuannya segitu-gitu saja. ternyata dia sekarang sudah jauh lebih hebat. yaah, walaupun belum sehebat aku sih.
“Sudah lama sekali rasanya kita tidak tertawa bersama seperti ini,” kata Arian sambil menatap wajahku.
Ya, sudah lama sekali rasanya aku dan dia tidak tertawa bersama seperti ini. aku dan Arian berteman sejak masih duduk di bangku SMP. dulu kami sering menghabiskan waktu bersama dengan menonton film-film di dvd nya, main bulutangkis, dan main kartu; seperti yang sekarang sedang kami lakukan di kafe favorit Arian. Aku dan Arian sudah lama sekali berteman, tapi sekarang jarang sekali bertukar kabar. terakhir kali kami bertemu dan tertawa bersama seperti ini adalah setahun yang lalu, saat ia pergi ke Amerika untuk mengejar impiannya, menjadi seorang pebulutangkis profesional. selama setahun itu, aku menghabiskan waktuku untuk menonton setiap pertandingannya di layar kaca atau dunia maya. aku selalu mengusahakan diriku untuk menontonnya bahkan saat aku tidak bisa. setahun tanpa sosoknya ku isi dengan kerinduanku yang setiap harinya terus bertambah. dan selama setahun itulah, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta. dan perasaan itu terus tumbuh dan mengakar kuat sampai rasanya tak bisa ku tahan lagi.
Sampai pada akhirnya, pukul 2 siang tadi, aku tercenung saat melihat kalimat pesan yang tiba-tiba muncul di layar handphoneku.
“Nad, aku pulang.”
Saat membaca pesan itu, yang ada di pikiranku hanyalah keinginanku untuk bertemu dengannya. dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun caranya, akan aku lakukan selama aku bisa bertemu dengannya. ku tekan tombol ‘call’ di handphoneku dan aku segera berlari keluar dari kantorku dan pergi menuju bandara demi bertemu Arian. 2 kali, 3 kali, 4 kali, sampai 10 kali teleponku tidak terjawab. dan pada panggilan ke 11 lah kebahagiaanku berada. aku akhirnya bertemu dengan dia tak lama setelah teleponku di angkat. rasa kangen yang luar biasa ini akhirnya terbayar hanya dengan melihat senyumnya secara live, bukan dari wawancara kemenangan yang biasa disiarkan di televisi atau internet.
Dan selanjutnya, seperti yang kalian ketahui, kami sudah duduk di kafe ini sambil memainkan kartu remi milik Arian yang entah kenapa di ikat dengan karet gelang warna merah.
Walaupun sudah duduk dan bermain bersama dengannya selama 2 jam, aku belum ada sedikitpun berniat untuk menyatakan perasaanku yang tertahan selama setahun ini. aku gengsi dan takut kami jadi jauh. jadi, yah… lebih baik aku simpan dulu perasaan ini sampai setidaknya satu tahun lagi.
Lalu tiba-tiba Arian memecah lamunanku dengan sebuah pertanyaan. “Nad, aku boleh ngomong sesuatu?” katanya. ia lalu mengaduk-aduk isi tas olahraga di bawah kursinya yang penuh dengan raket, seperti sedang mencari sesuatu.
“Kamu mau ngomong apa, Yan?” tanyaku penasaran. jarang sekali loh Arian bilang kalau dia ingin bicara sesuatu. selama kenal dia, aku selalu percaya bahwa Arian adalah tipe orang yang ‘kalo mau nanya sesuatu ya nanya aja’. tipe jarang malu-malu dan seringnya blak-blakan. tapi aku tidak mau sok tahu dulu. bisa saja Amerika mengubah kebiasaan dan jati dirinya.
Arian akhirnya menegakkan posisi duduknya. ia lalu meletakkan sebuah kotak berwarna silver dengan pita dan ornamen-ornamen menarik di atas meja.
“Nad, di hari-hari-hari pertama aku menetap di Amerika, aku merasa sangat bahagia. aku senang bisa menjalani hidup di negara lain, di tempat orang lain, di lingkungan yang jauh dari lingkungan biasaku. itu awalnya yang kurasakan. lalu selama 3 bulan kemudian, rasa bahagiaku lambat laun berubah menjadi rasa bosan dan kesepian. aku di tekan para pelatihku. aku di tekan agar selalu menjadi yang terbaik. and i did. aku menang banyak kejuaran selama aku di Amerika. aku bangga, tapi aku tidak bahagia. aku tetap merasa kurang. dan aku merasa rindu. rindu rumahku, rindu orang tuaku, rindu teman-temanku, rindu Jakarta. tapi satu yang paling kurindukan dari semuanya, aku rindu kamu, Nad. dan aku gak tau kenapa.”
“Aku mencoba menghubungimu. tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. dan semua telepon itu selalu berakhir tidak terjawab. I was nearly going to give up on you, Nad. not only you, but also my whole life.”
Aku tergelak. astaga. Amerika benar-benar merubah hidup Arian. ia terus melanjutkan ceritanya dan aku tetap mendengarkan. walau ingin bertanya, aku sama sekali tidak berniat memotong ceritanya. itu semua semata-mata karena aku ingin tahu kelanjutan dari segala kata rindunya untukku.
“Lalu pada bulan ke 10 aku tinggal di Amerika, pelatihku tiba-tiba bilang bahwa aku akan kembali ke Indonesia 2 bulan lagi karena jadwal pertandingan untukku sudah habis dan akan digantikan pebulutangkis yang lain. aku tidak sedih. aku tidak kecewa karena aku digantikan. aku justru senang. setidaknya di Indonesia lah aku bisa bertemu lagi dengan kebahagiaanku.”
Arian lalu berhenti bicara. ia tersenyum dan mendorong kotak berwarna silver itu ke arahku. “Buka, Nad.” aku menerimanya dan langsung membuka kotak tersebut.
Dan hanya dalam hitungan detik. aku menangis. bukan menangis karena duka, tapi karena terharu bahagia. aku tersenyum dan melihat ke arah Arian yang juga tersenyum. “Aku suka kamu, Nad. Will you be mine?”
Aku mengangguk, tentu saja. ia pun lalu memelukku yang saat itu masih menangis terharu. aku tenggelam. aku tenggelam dalam kebahagiaan dan pelukan Arian yang menghangatkan. siapa yang sangka rasa rindu dan cintaku yang terpendam selama ini bisa terbalas dengan begitu indah dan manis seperti ini?
Aku masih memegang kotak silver yang tadi di beri Arian. kotak itu berisi kalung dengan permata berwarna putih dan sebuah kertas yang bertuliskan:
“You are my happiness. and my love for you is eternal.”

Pluk!
Dia melempar bola basketnya ke arahku. Dengan sengaja, mungkin. Kemudian sambil tertawa kecil, ia menghampiriku.
“Sakit, ya? Maaf… maaf…” Ucapnya. Tawanya itu selalu menjadi penyemangat hidupku selama ini.
“Iya, nggak apa-apa, kok.” Balasku sambil tersenyum.
“Eh, ke kelas yuk!” ajaknya.
“Ayo.” Aku hanya mengiyakan ajakannya sembari tertawa renyah. Saat-saat ini yang pasti akan ku rindukan saat kami berpisah.
Di kelas…
“Ka, dari mana aja?” tanya Lutfi, salah seorang sahabatku.
“Dari danau,” jawabku.
“Danau di belakang sekolah?” tanya Asyiffa.
“Ya. Tempat itu selalu bisa menenangkan hatiku.” Jawabku sambil tersenyum simpul. Tanpa kusadari, dia sudah ada di dekatku. Dia, yang tadi melempar bola basket ke arahku.
“Terus, sekarang mau ke sana?” tanyanya.
“Nggak perlu deh, aku kan udah ke sana tadi,” jawabku.
“Kan kamu belum ajak-ajak aku. Ayo,” ucapnya sambil menarik tanganku. Ini perasaan yang aneh. Selama ini sebenarnya aku menyukainya. Tapi… apa mungkin dia juga menyukaiku?
“Sampai,” ucapnya sambil berpegangan tangan pada pembatas antara danau dan sekolah. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Seperti ini saja sudah cukup jika aku bisa dekat dengannya…
“Ka?” panggilnya sambil menoleh ke arahku. “Ayo, ke sini, pemandangannya indah banget…”
Aku mendekat ke arahnya, kemudian tanpa ku sangka ia memegang tanganku sambil berkata, “Seandainya keindahan ini bisa kita nikmati bersama 10 tahun lagi ya,”
Aku tak tahu apakah itu hanya sekedar candaan ataukah serius. Tapi jika serius, itu berarti…
“Iya,” jawabku sambil menunduk.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya perhatian, aku menggeleng lemah. Sebenarnya memang iya. Tapi aku tak mau memberitahukannya perihal penyakitku, aku tak mau ia mengkhawatirkanku…
“Ka? Ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu.” Ucapnya. Aku tertegun.
“Sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran.
“Tutup mata kamu… jangan ngintip!” serunya sambil tertawa kecil. Aku mulai menutup mataku. Jantungku berdegup kencang. Apa yang ingin dia beri kepadaku? Apa?
“Buka matamu, Ka.” Ucapnya. Aku merasa ada sebuah benda yang terpasang di leherku. Liontin. Ya benar.
“Ini… buat aku?” tanyaku sambil memegang liontin itu.
“Ya, buat sahabat aku yang paling baik sedunia…” jawabnya.
“Terimakasih sekali…” ucapku sambil tersenyum. Walaupun hanya sebatas sahabat baginya, biarlah… aku sudah cukup senang…
“Alika? Kita kembali ke kelas yuk!” ajaknya sambil menggandeng tanganku. Ini sudah yang kesekian kali, dan aku amat senang dengan itu.
Sepulang sekolah…
“Yah, pake acara hujan-hujanan segala! Gimana pulangnya nih?!” Gerutu Lutfi, Asyiffa, Dinda, Hayunda, Diva, Alya, Monica, Wilda, Putri, Dhiya, dan semua teman baikku. Aku hanya tersenyum simpul.
“Ka, kamu tuh, selalu ceria yah. Kayak nggak ada beban hidup aja,” celetuk Wilda, yang memang paling jahil di antara kami.
“Haha… masa iya sih?” tanyaku. Sebenarnya bukan begini… sebenarnya aku tersenyum untuk menutupi penyakitku, teman…
“Alika, pulang bareng yuk!” ajak dia. Teman-temanku kompak berdehem. “Ehmm…”
“Eh… tapi, mereka?” tanyaku sambil menunjuk teman-temanku.
“Sudahlah, kamu pulang dengan Ryan saja. Biar kita sama-sama hujan-hujanan disini. Iya nggak Guys?” tanya Putri, orang terjahil kedua setelah Wilda.
“Iya!” seru teman-temanku.
“Tuh, kan, teman-teman kamu aja udah setuju kok! Yuk!” Ia menarik tanganku menjauhi mereka. Ini keempat kalinya…
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini jadi aneh? Kayak bukan Alika yang dulu?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
“Aku? Nggak ada yang aneh kok,” ucapku menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Mobil mulai berjalan. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang.
“Alika, seandainya udah waktunya, aku mau kasih tahu kamu sesuatu.” Ucapnya sambil terus menyetir.
“Apa itu?” tanyaku.
“Ini belum saatnya. Masih lama, dan kamu harus menunggu.” Jawabnya.
“Baiklah, aku akan tetap setia menunggu sesuatu itu hingga tiba waktunya,” jawabku sambil tersenyum.
“Sebentar lagi sampai rumahmu,” ucapnya. Akhirnya, rumahku terlihat. Ia memberhentikan mobilnya tepat di depan rumahku.
“Makasih ya,” ucapku.
“Ya,” balasnya. Aku pun masuk rumah.
Di dalam rumah…
“Alika? Kamu pulang sama siapa?” tanya kedua orangtuaku panik.
“Sama temen Ma… Pa… temen Alika baik kok, dia mau nganterin Alika pulang waktu tadi Alika nungguin hujan sama temen-temen…” ucapku sambil tersenyum.
“Alika, hari ini kan kita mau ke rumah sakit. Cuci darah kan?” tanya Mama.
“Oh, iya…” jawabku, kembali lemas setelah mendengar kata “cuci darah” kata yang berhubungan dengan penyakit.
“Sekarang kamu ganti baju ya Sayang, yang cepat. Kita sudah mau berangkat.” Ucap Papa.
“Nggak usah Pa, Alika pakai ini aja. Besok nggak di pakai lagi kok,” jawabku.
“Baiklah Sayang, sekarang kita langsung berangkat saja ya.” Ucap Papa, kemudian menyalakan mesin mobil. Aku hanya tertunduk. Penyakit ini semakin menghantuiku… apakah aku harus memberitahu hal ini kepada Ryan?
Sesampainya di Rumah Sakit…
“Papa dan Mama tinggal dulu ya Sayang. Nanti kami segera kembali,” ucap Mama. Aku mengangguk lemah. Entah apa yang akan terjadi dalam sisa hidupku ini…
Selesai cuci darah…
Aku menunggu kedatangan orangtua ku yang entah ke mana perginya. 5 menit kemudian, mereka datang. Kemudian kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah…
“Ma, Pa, Alika mau belajar dulu ya…” ucapku, kemudian naik ke atas, ke kamarku. Aku mengunci pintu rapat-rapat. Kemudian, aku mengambil buku diary-ku dan pulpen merahku.
Kamis, 28 Maret 2013
Hari ini, aku senang… sekali. Di sekolah, ada yang perhatian sama aku. Aku jadi lebih semangat menjalani hidupku yang (mungkin) tinggal sebentar lagi.
Sebenarnya aku ingin sama seperti teman-teman. Bisa bercanda, tertawa, bermain, tanpa beban. Tapi yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum, untuk melewati cobaan hidupku. Sebenarnya aku iri dengan mereka. Tapi inilah aku…
Seandainya memang Tuhan ingin mencabut nyawaku, aku rela, asal jangan ambil dia… Karena aku sangat mencintainya…
“Alika?” Mama mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku terkejut, kemudian segera mengembalikan buku diary ke meja belajar dan mengambil buku Fisika.
“I… iya Ma?” jawabku gugup.
“Sedang belajar ya Sayang?” tanya Mama.
“I… iya Ma, belajar Fisika… hehehe…” jawabku masih gugup.
“Mama bawakan cokelat hangat buat kamu Sayang… buka pintunya,” ucap Mama.
Aku membukakan kunci pintu dan pintu kamarku. Mama meletakkan segelas cokelat hangat itu di meja belajarku.
“Ka?” panggil Mama.
“Iya Ma?” tanyaku.
“Kamu nggak sedih kan, harus cuci darah setiap minggu?” tanya Mama sambil duduk di tepi tempat tidurku.
“Nggak Ma… Alika santai aja kok,” jawabku mencoba tersenyum.
“Mama tahu, kamu ingin hidup seperti anak-anak lain. Bebas seperti mereka. Tapi kamu tahu kan, kamu punya penyakit. Mama tidak bisa membebaskanmu seperti mereka,” lanjut Mama.
“Iya Ma, nggak apa-apa kok. Alika ngerti, Alika berbeda dari mereka.” Jawabku.
“Sudah ya Sayang, lanjutkan belajarmu… jangan sedih,” ucap Mama sambil mencium keningku. Aku tersenyum.
“Terimakasih Ma…” jawabku, kemudian menutup pintu kamarku setelah Mama keluar.
“Ma… sebenarnya aku sedih… tapi mau bagaimana lagi? Aku memang berbeda…” ucapku, perlahan air mata menetes dari mataku.
Tapi sebuah SMS menyadarkanku dari kesedihanku. Aku segera meraih handphone-ku dan membaca SMS itu.
To : Alika
Main yuk Ka ! Nggak seru nih kalau nggak ada kamu ! :D
“Ryan…” ucapku sambil meneteskan air mata. Aku tersenyum simpul. Sebenarnya aku ingin sekali… ingin sekali bisa bermain dengannya… tapi… tapi…
To : Alika
Balas dong !
“Apa aku harus izin kepada Mama ya? Tapi apa mungkin Mama akan mengizinkan aku bermain?” tanyaku. Aku membalas SMS Ryan.
To : Ryan
Sebentar ya… Aku izin Mama dulu…
Aku keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Aku mencari Mama. Ternyata Mama sedang menonton televisi dengan Papa. Aku langsung mengutarakan niatku.
“Ma,” panggilku takut.
“Ada apa Sayang?” tanya Mama sambil membelai rambutku.
“A… Alika… diajak main Ma… sama… temen Alika…” ucapku gugup.
“Terus?” tanya Mama.
“Alika… boleh ya… main sama temen Alika…? Please Ma…” lanjutku. Akhirnya, aku bisa mengutarakannya juga.
Mama tersenyum simpul. “Boleh Sayang, tapi jangan lama-lama ya… oh ya, siapa teman kamu yang mengajak? Bisa kamu perkenalkan kepada Mama?”
Alhamdulillah, akhirnya aku diizinkan. Benar-benar mustahil menurutku. Tapi ini nyata!
“Ma, makasih Ma… makasih…” aku memeluk Mama. Mama hanya tersenyum.
Aku langsung membalas SMS Ryan.
To : Ryan
Kamu jemput aku yah, aku udah diizinin.
Aku kembali ke kamarku, tapi sebelum itu ada SMS.
To : Alika
Ok, otw ya… Jangan kemana-mana! ;)
Aku tersenyum senang. Rasanya seperti mimpi! Ini mimpi atau bukan ya?
Ting! Tong!
Bel pintu rumahku berbunyi. Aku segera berlari ke bawah untuk membukakan pintu.
“Hai… Alika?” sapa Ryan di depan pintu, sambil melambaikan tangan.
“Cepat sekali,” gumamku. “Oh, ya, silakan duduk. Aku mau berganti pakaian dulu.”
“Siapa Sayang?” tanya Mama yang tiba-tiba datang.
“Temen aku Ma… yang tadi ngajak aku main,” ucapku.
“Oh… ini… siapa namanya?” tanya Mama.
“Ryan, Tante,” jawab Ryan.
“Kamu baik-baik ya, dengan Alika… jadilah sahabat yang baik, supaya Alika bisa semangat dalam menjalani hidupnya,” Mama langsung pergi meninggalkan Ryan setelah mengatakan itu.
Aku segera keluar kamar setelah berganti pakaian. Ryan langsung melontarkan pertanyaan kepadaku.
“Maksud perkataan Mama kamu apa Ka?” tanya Ryan.
“Emang Mama ngomong apa ke kamu?” tanyaku balik.
“Beliau bilang, aku suruh baik-baik sama kamu, supaya kamu semangat dalam menjalani hidup kamu. Memang kamu ada masalah apa Ka?” jawab dan tanya Ryan.
“Eh… nggak ada apa-apa kok Yan, beneran.” Ucapku menutupi kebenaran sesungguhnya.
“Bener nih? Jangan bohong sama aku,” ucap Ryan.
“Iya, suer dah… yuk, ah, ngapain basa-basi!” ajakku. Ryan keluar lebih dahulu dan mulai menyalakan mesin mobilnya.
Di perjalanan…
“Alika, cerita aja kenapa sih, sama aku? Kamu ada masalah apa sampai-sampai Mama kamu ngomong begitu ke aku?” tanya Ryan sambil menyetir mobilnya.
“Nggak ada, Ryan…” jawabku.
“Aku nggak percaya. Kita itu kan sahabat. Harus saling berbagi rahasia. Masa, sih, kamu tega bikin aku penasaran?” tanya Ryan.
“Hm… iya, deh… sebenarnya, aku itu…”
Apa ini saatnya untuk memberitahukan kepada Ryan perihal penyakitku? Tapi, jangan. Belum waktunya.
“Belum waktunya kamu untuk tau Yan,” ucapku membatalkan ucapanku yang sebelumnya.
“Kamu gitu deh…” kata Ryan.
“Kamu juga, kamu bilang ada suatu hal yang harus aku tahu pada waktunya. Nah, hal ini juga yang harus kamu tau PADA WAKTUNYA,” jelasku.
“Baiklah, aku mengerti. Kita akan sama-sama mengungkapkannya PADA WAKTUNYA.” Ucap Ryan dengan ekspresi wajah kecewa. Aku hanya termenung. Maaf… aku belum bisa memberitahumu perihal ini…
“Sebenarnya kita mau ke mana sih Yan?” tanyaku yang mulai penasaran.
“Ke mana? Tentu saja ke belakang sekolah!” seru Ryan mulai bersemangat.
“Belakang sekolah?” tanyaku lagi, Ryan mengangguk.
Danau belakang sekolah…
“Udaranya sejuk sekali!” seru Ryan sambil mengangkat tangannya ke atas.
“Aku tak mengerti mengapa kamu mengajakku ke sini.” Ucapku.
“Ya, agar lebih terbiasa.” Jawab Ryan.
“Aku sudah biasa berada di sini, namun aku tak pernah bosan… karena hanya tempat inilah… yang mengerti akan aku dan kehidupan kelamku…” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Bodoh!
Ryan tertegun, kemudian memandangku. “Bilang apa kamu Ka?”
Aku merutuk diriku sendiri. Kenapa harus keceplosan? Ah… dasar Alika!
“Ka? Kamu sebenarnya punya masalah kan? Cerita aja, aku nggak akan membocorkan masalahmu kepada siapapun, janji…” pinta Ryan.
Mungkin ini waktunya! Ini waktunya! Aku harus mengatakan yang sebenarnya!
“Yan… setelah dengar ini kamu nggak boleh sedih ataupun nangis ya…” ucapku sebelum pernyataan itu keluar dari mulutku.
“Kenapa harus sedih atau nangis Ka?” tanya Ryan. Aku menunduk.
“Karena… sebenarnya… hidupku tak lama lagi Yan…” akhirnya, terlontar juga. Aku melihat wajah Ryan tampak redup, tidak ada lagi rona wajah ceria seperti pertama ia berkunjung ke danau ini.
“Kenapa bisa begitu? Ada apa denganmu?” Ryan memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya, ia mengguncang-guncangkan bahuku. Aku diam sejenak, kemudian berkata…
“Aku leukimia…”
“Jangan bohong sama aku Ka! Kamu nggak kenapa-napa kan?!” Ryan meminta penjelasan.
“AKU NGGAK BOHONG SAMA KAMU RYAN!” seruku sambil melepaskan pegangan tangannya di bahuku. Tiba-tiba air mataku menetes. “Kamu minta aku jujur, sekarang aku jujur… kamu anggap aku bohong…”
Ryan seperti tak percaya. Ia kembali mempertanyakan hal yang sama.
“Bener kamu leukimia Ka?” tanya Ryan sekali lagi.
“Kamu masih belum percaya? Tanya kedua orang tuaku, pasti mereka juga mengatakan seperti itu…” ucapku pelan.
“Ka,” tiba-tiba ia memelukku dengan erat. “Jangan tinggalin aku di sini Ka! Kalau kamu pergi pasti aku bakal kesepian!”
Aku tak tahu apa maksud perkataannya itu. Mustahil, mungkin ini hanya mimpi…
“Udah kan… aku udah bilang yang sebenarnya… sekarang giliran kamu…” ucapku melepas pelukannya.
“Barusan aku ngomong Ka..” ucap Ryan. “Aku gak mau kehilangan kamu, aku cinta sama kamu…”
Mimpi! Benar-benar mimpi! Tuhan, jika ini memang mimpi, biarkan aku tertidur untuk selamanya. Aku tak ingin menyudahi peristiwa ini, walau akhirnya aku akan mati…
“Ryan, kamu bercanda kan?” tanyaku.
“Alika, aku benar-benar cinta sama kamu… Dari pertama bertemu, aku udah tertarik sama senyuman kamu… sejak itu aku terus mencoba akrab denganmu, sampai sekarang. Tapi yang ku dapat malah kenyataan yang menyakitkan.” Jawab Ryan.
“Maaf Yan, aku pulang dulu.” Aku menyudahi peristiwa itu. Padahal, baru saja aku berpikir itu adalah mimpi yang mustahil.
“Kamu pulang sama siapa Ka?!” tanya Ryan khawatir.
“Sendiri, aku bisa naik bus kok. Bye, terimakasih pengakuannya.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian menyetop bus yang sedang berjalan. Aku masuk ke dalamnya.
Sesampainya di rumah…
“Bagaimana mainnya Sayang?” tanya Mama ramah, beliau menyambutku di depan pintu sambil membawakan segelas es jeruk.
“Ini mimpi kan Ma?” tanyaku masih tak percaya atas peristiwa yang tadi baru saja kualami.
“Memangnya ada apa Sayang?” tanya Mama.
“Ah… nggak apa-apa. Terimakasih es jeruknya Ma, Alika capek, mau tidur,”
Aku beranjak naik ke atas, ke kamarku. Aku mengunci pintu dan langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sembari membayangkan peristiwa tadi…
Itu bukan mimpi, Ryan benar-benar menyatakan perasaannya kepadaku. Tapi menurutku itu mustahil. Apa yang menarik dari aku? Apa?
Karena terlalu lelah, tanpa sadar aku tertidur…
Keesokan paginya…
“Alika, bangun… hari ini kamu harus sekolah!” seru Mama.
“I… iya Ma,” aku bangun kemudian langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku mengenakan seragamku kemudian menyisir rambutku. Tapi…
“Aaaahh…!” jeritku begitu mendapati rambutku rontok saat di sisir.
Tuhan… apa penyakitku semakin parah? Jika iya, maka izinkan aku untuk bertemu dia untuk terakhir kalinya… hari ini saja…
Maka dengan pelan aku menyisir rambutku, walau rambutku banyak yang rontok karena penyakitku.
“Mama, Papa, Alika sekolah dulu! Assalamualaikum,” pamitku.
Aku berangkat sekolah dengan di antar oleh supir pribadiku. Sesampainya di sekolah…
“Alika!” sapa teman-temanku hangat. Aku tersenyum simpul.
“Hei,” sapaku balik. Senyuman dan sapaan ini mungkin akan jadi yang terakhir, teman… Maafkan aku…
“Alika, dari tadi Ryan nungguin kamu berangkat lho! Ada apa sih?” tanya Dinda. Aku melihat Ryan yang sedang berdiri di dekat jendela sambil termenung.
“Samperin tuh, samperin!” seru Wilda sambil mendorongku ke arah Ryan. Aku terkejut, tapi aku bisa mengendalikan tubuhku.
“Yan…” panggilku pelan.
Dia hanya menoleh tanpa menjawab. Wajahnya murung sekali. Aku merasa bersalah. Aku harus menjawab perasaannya hari ini walau sebentar lagi aku akan mati…
“Yan, soal yang kemarin… aku… aku…” aku tak mampu untuk berkata-kata.
“Kenapa? Kamu nggak suka sama aku?” balasnya sinis. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Bukan itu…” ucapku sambil memegang lengan bajunya. “Aku suka… suka sekali sama kamu Ryan…”
Seluruh kelas mendengar jawabanku itu. Ryan terkejut, seperti tak percaya.
“Cieee… Alika…” seperti biasa, teman-temanku yang jahil itu langsung kompak mengejekku.
“Bener?” tanya Ryan memastikan. Aku mengangguk lemah. Tuhan… kepalaku pusing sekali…
“Terima kasih Alika…” Ryan memelukku, kemudian aku balas memeluknya. Sungguh, ini hari terindah. Tapi, mungkinkah ini hari terakhirku hidup? Kepalaku pusing sekali… pandanganku kabur…
“Alika?” tanya Ryan. Aku tak menjawab. Aku tertidur dalam pelukan Ryan.
“Ka?” panggil Ryan sekali lagi. Aku tetap diam. Ryan panik. Ia melepaskan pelukannya dan melihat aku tertidur.
“Alika!” seru Ryan. “Alika bangun…! Please, jangan tinggalin aku!”
“Ada apa dengan Alika?” tanya teman-temanku. Mereka menghampiriku.
“Tolong, telepon orang tua Alika! Alika harus segera dibawa ke rumah sakit!” seru Ryan. Lutfi menelepon kedua orangtuaku segera.
“Halo?” ucap Lutfi.
“Halo, ya dengan siapa?” tanya Mama.
“Ini Lutfi, teman Alika. Tante, Alika pingsan di sekolah. Saya harap Tante bisa segera membawanya ke rumah sakit,” ucap Lutfi.
“Apa? Alika pingsan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Terimakasih Lutfi,” Mama segera mematikan telepon, kemudian bersama Papa langsung ke sekolahku.
“Alika!” seru Mama sambil mendekatiku. Jelas saja aku sedang tak sadar. Mama dan Papa segera membawaku ke rumah sakit, bersama Ryan tentunya…
Di rumah sakit…
“Hiks…” tangis Mama. Ryan berusaha menghibur Mama.
“Tante, semoga ini bukan kali terakhir Alika tersenyum… Maafkan saya Tante, saya lalai menjaga Alika…” ucap Ryan.
“Tante juga… bukan Ibu yang baik untuk Alika… Tante menyesal selama ini mengabaikannya… padahal, ia sangat butuh orang-orang terdekatnya…” ucap Mama sambil terus menangis.
“Sudahlah Ma, Yan, kita doakan saja yang terbaik untuk Alika… semoga dia bisa kembali ke pelukan kita lagi,” ucap Papa menghibur Mama dan Ryan.
2 jam kemudian…
“Apa di sini ada anggota keluarga yang hendak mendonorkan ginjalnya untuk Alika?” tanya dokter yang bertugas.
“Untuk apa Dok?” tanya Mama.
“Alika masih diberi kesempatan hidup, jika ada yang mau mendonorkan ginjalnya untuknya…” jawab dokter.
“Bagaimana? Golongan darah saya A… Suami saya B, sedangkan Alika O…” ucap Mama sambil terisak. Ryan hanya diam.
“Biar aku saja Tante, Om.” Ucap Ryan. “Golongan darahku sama seperti Alika. Biar kali ini aku yang menyelamatkannya, walau harus nyawa taruhannya.”
“Kamu yakin Ryan?” tanya Papa. Ryan mengangguk mantap.
“Demi kesembuhan dan kehidupan Alika, Ryan rela, walau harus mati sekalipun.” Ucap Ryan.
“Baiklah, mari ikut saya ke ruang operasi…” ucap dokter sambil mengajak Ryan.
Beberapa jam kemudian…
“Bagaimana dok?” tanya Mama dengan panik.
“Anak Ibu bisa diselamatkan. Tapi dia…” dokter itu menghentikan ucapannya sebentar. “Dia tak tertolong,”
“Maksud dokter, Ryan?” tanya Papa. Dokter itu mengangguk dengan berat hati.
“Saya permisi.” Ucap dokter, meninggalkan Papa dan Mama. Mereka langsung masuk ke ruang rawat Alika, terlihat di sana aku telah terbaring dengan senyum manisku.
“Papa, Mama…” panggilku bahagia. “Alhamdulillah, ada orang baik yang mau menyelamatkan Alika… Alika bahagia sekali,”
Mama hanya mengangguk sambil menangis. Papa menghibur Mama sambil merangkulnya.
“Oh ya, Alika ingin tahu… Ryan di mana?” tanyaku yang tidak mengerti apa-apa.
Deg! Jantung Mama berdegup kencang.
“Bagaimana ini Pa?” bisik Mama.
“Kita beritahu lain kali saja Ma, jika dia sudah benar-benar sehat,” jawab dan bisik Papa.
“Ryan… Ryan… dia tidak ikut ke sini Sayang,” jawab Mama gugup. Aku mulai curiga.
“Oh… Alika bisa pulang kapan Ma?” tanyaku dengan bahagia.
“Besok, mungkin.” Ucap Papa dengan berat hati.
“Alika ingin cepat-cepat pulang, Alika rindu sekali sama Ryan…” ucapku. Kembali Mama dan Papa terkejut.
“Iya, Alika tidur dulu ya Sayang… besok Mama antar kamu ke tempat Ryan, ya…” ucap Mama sambil membelai rambutku. Aku tersenyum senang, kemudian mulai tertidur.
Keesokan harinya…
Aku bisa pulang dengan sehat. Entah siapa yang mendonorkan ginjalnya untukku, tapi aku sangat berterimakasih kepadanya.
“Ayo Ma, Pa!” seruku ceria. Mama dan Papa tersenyum terpaksa. Aku langsung masuk ke mobil bagian belakang. Mama dan Papa di depan.
Selama perjalanan, aku tersenyum bahagia. Aku membayangkan wajah Ryan saat aku sembuh. Pasti ia bahagia!
Namun, khayalanku terhenti saat Papa memutar mobilnya ke arah yang berbeda. Sebuah pemakaman…
Papa menghentikan mobilnya di depan pintu pemakaman. Sementara Mama mengambil bunga. Aku bingung.
“Untuk apa kita ke sini Ma, Pa?” tanyaku sambil ikut turun.
“Menemui Ryan, Sayang…” jawab Mama sambil menahan isak tangisnya. Firasatku tak enak. Kenapa di pemakaman? Ryan kan, Ryan kan, masih hidup?
Mama berhenti pada sebuah makam. Di situ tertuliskan : J. Ryan D. Lahir : 08 Februari 2000 Wafat: 29 Maret 2013.
“Ini Ryan Ma?!” tanyaku tak percaya. Mama mengangguk lemah.
“Sayang, maafkan Mama… sebenarnya yang mendonorkan ginjalnya untukmu, Ryan, Sayang… tapi dia tak mau kamu tahu, sehingga kami merahasiakannya,” ucap Mama.
“Nggak mungkin, ini bohong… ini bohong kan!” teriakku. Aku menangis.
“Ryaaan!!!” panggilku. Tentu saja yang kupanggil tak menjawab. Sekarang ia hanya tinggal nama…
“Sayang..” panggil Mama.
“Mama dan Papa jahat! Lebih baik aku yang mati dibandingkan dia!!!” seruku sambil menangis. Air mataku bertambah deras. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, seakan mengerti perasaanku.
“Sayang, ucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya… kita harus pulang, nanti kamu sakit,” ucap Papa.
“Nggak mau! Alika mau bersama dengan Ryan! Alika mau mati…!” seruku sambil memeluk batu nisan di hadapanku. Benar-benar… ini nyata!
“Sayang…” Mama menarik tanganku. Aku tetap bersikeras untuk duduk dan memeluknya untuk terakhir kali. Tapi tangan Mama terlalu kuat sehingga aku pun akhirnya dibawa masuk ke mobil.
Di perjalanan…
“Alika, ini surat terakhir dari Ryan untuk kamu…” ucap Papa sambil menyerahkan secarik kertas. Aku menerimanya dengan acuh.
Sesampainya di rumah…
Aku segera masuk ke kamar dan mendobrak pintu dengan kesal. Aku langsung merebahkan tubuhku sambil menangis. Aku teringat surat itu, aku langsung mengambil kemudian membacanya.
To : Alika
From : Ryan
Hai Alika… kamu sedang apa sekarang? Pasti lagi main ya, sama teman-teman kamu… Hehehe…
Alika, ini surat terakhir dari aku buat kamu… Aku nulis surat ini sebelum aku operasi. Alhamdulillah dokter masih kasih aku kesempatan buat ngucapin ini ke kamu yah…
Aku udah yakin kalau aku nggak akan bertahan lama hidupnya setelah aku mendonorkan ginjal aku buat kamu. Tapi aku nggak nyesel. Aku justru pengin kamu hidup, walaupun harus aku yang mati.
Sebenarnya jika aku masih hidup, aku ingin kita bermain bersama Alika… tapi kayaknya cuman angan-anganku yah, hehehe…
Sudah dulu ya Alika, kalau kamu sudah sehat, jangan lupa kirim-kirim kabar ya, ke surga! Hehehe… I love you…
Aku menangis membaca surat tersebut. Itu benar-benar surat dan kata-kata terakhir Ryan untukku. Air mataku membasahi kertas surat ini…
Aku meletakkan surat itu di depan foto Ryan. Tidak lupa juga aku sertakan beberapa bunga melati di depannya.
“Aku pasti bakal kangen kamu untuk beberapa waktu… Terimakasih atas ginjalnya, aku jaga baik-baik… Aku akan menjadi seseorang seperti yang kamu inginkan, terimakasih atas segala senyuman dan perhatianmu selama ini, I love you too…”

Aku tidak pernah menginginkan semuanya terjadi seperti ini. Walau terkadang kau buatku menangis dan jengkel. Ternyata yang terjadi hanya kepalsuan yang kau berikan padaku. Dan sekarang kau tinggalkan aku, dan meninggalkan sejuta luka dan perih yang sangat mendalam di hatiku. Tapi, apalah dayaku. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Sang Maha Pencipta.
Kisah ini berawal saat aku duduk di kelas IX SMP. Mungkin masih dini aku mengenal cinta. Tapi, inilah kenyataannya. Awalnya aku kenal dia saat aku berada di rumah temanku. Pada waktu itu, aku dan dia hanya berteman. Tapi, seiring berjalannya waktu, hubungan kami pun semakin akrab. Jujur saja, aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
Sudah 1 bulan hari-hari kulewati bersama Amat. Namun sepertinya aku mulai ada rasa padanya.
“entah rasa pedas, asin, pahit, atau manis. Tapi, apapun yang aku lakukan, aku selalu mengingatnya. Oh Tuhan, apakah ini yang dinamakan CINTA?” gumamku. Sepertinya aku mulai menyukai Amat, dan aku pun mulai menyayanginya. Tapi, apakah Amat bisa mengerti perasaanku padanya? Ingin rasanya aku mengungkapkan rasa ini. Namun, aku malu karena aku gengsi. Yang bisa kulakukan hanyalah mengunggu dan selalu berdo’a. siapa tahu, suatu saat nanti, Amat juga memiliki perasaan sama seperti yang aku rasakan.
Malam hari, ketika aku sedang duduk santai di kamar sambil memikirkannya, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tanda pesan masuk, dan ternyata itu dari Amat. Segera aku membaca pesan darinya.
Amat: “hai Sit, aku boleh nanya nggak?”
Siti: “hai juga, boleh ko, emangnya mau tanya pa?”
Amat: “tapi kamu jawab yang jujur yaah? Kamu sebenarnya udah punya cwo belom?”
Siti: “enggak salah tuh nanyanya? Aku belum punya cwo koq, emangnya ada pa yah jadi nanya gitu?”
Amat: “sama donk, kamu mau nggak jadi cwe aku?”
Siti: “nggak salah tuch kamu ngomong gitu, jangan bercanda ach Mat!”
Amat: “aku serius Sit, jujur dengan seiringnya waktu berlalu aku mulai sayang ma suka sama kamu, apakah kamu memiliki perasaan yang sama senganku Sit?”
Siti: “gimana yah, aku harus jawab gimana?”
Amat: “jawab jujur aja koq!”
Siti: “aku sebenarnya sudah lama sayang ma kamu Mat, tapi aku malu tuk bilang ma kamu karena aku gengsi”
Amat: “jadi, sekarang kita jadian, tanggal 18, bulan September 2011”
Senangnya aku malam ini, tak sia-sia penantianku selama ini. Waktu kian berlalu. Aku semakin sayang sama Amat. Aku merasakan kenyamanan saat aku berada didekatnya. Setiap malam setelah aku belajar, aku tak lupa mengirim SMS padanya. Dan saat mau tidur pun, Amat tak lupa mengucapkan kata “I love you Cimut” padaku. Dan aku langsung membalasnya “I Love You too ayank, I will Love You Always”. Karena sebutan Cimut ialah panggilan sayang dia kepadaku.
Pada bulan Januari-April 2012, dia magang di kota Martapura yang terkenal dengan julukan Kota Intannya. Aku tak pernah curiga dengannya, meski kini aku tak pernah berjumpa dengannya, karena jaraknya jauh. Namun siapa yang tahu? Diam-diam ternyata dia di sana mulai menyukai seorang cewek yang memang dari dulu dia suka. Pada malam rabu 28 Maret 2012, poselku berbunyi. Ternyata dari Amat. Langsung kubaca pesannya.
Amat: “Cimut, age pa nih, Cimut udc maem pa blom? Tapi Cimut jangan lupa shalat ya Cimut?”
Siti: “Cimut abiz shalat isya koq ayank, Cimut dc maem koq, iy Cimut ga lupa Skalat koq ayank, ayank ge pa?”
Amat: “ayank ge bingung Cimut, enggak tau kenapa ayank jadi bingung, tapi yang jelas Cimut jangan marah ya kalo ayank mau jujur ma Cimut?”
Siti: “ya Cimut berusaha nggak marah walau kata-kata yg ayank buat Cimut nangis, ayank mau jujur tentang pa?”
Amat: “sebenarnya Cimut, ayank disini mulai suka ma cwe lain. Ayank juga bingung kenapa rasa seperti ini harus ada, sedangkan ayank sudah punya cwe yg selalu buat ayank tersenyum, Cimut bolehkan ayank punya pacar selain Cimut?”
Siti: “apa ayank?! Apakah Cimut disini kurang perhatian jadi ayank bisa suka ma cwe laen?”
Aku berhenti mengetik keypad ponselku. Dengan perlahan-lahan kumenghela nafas panjang dan air mataku mulai membasahi pipiku. Aku pun melanjutkannya lagi.
“ayank, jika ayank ingin punya kekasih lain selain Cimut, boleh saja. Asalkan kita putus sekarang juga. Karena aku tak ingin seseorang yank ku sayangi mencintai orang lain. Sedangkan aku di sini selalu menunggunya tuk kembali!”
Amat: “maafkan ayank Cimut, ayank enggak bisa mutusin Cimut karena ayank bener-bener sayang sama Cimut. Tapi disisi lain, ayank pun ingin cwe itu jadi milik ayank Cimut.”
Siti: “sudahlah ayank, jika ayank menginginkan dia, oke dengan berat hati Cimut harus pergi meski sulit melupakan seseorang yang kita sayang.”
Amat: “ayank enggak rela liat Cimut dengan orang lain”
Siti: “ayank, meski berat tapi aku nggak ada pilihan lain, makasih semuanya ayank”
Kini, aku terpuruk lemah oleh kenyataan yang kini seakan menyakitiku. Aku tak mengaktifkan ponselku selama satu minggu karena aku ingin melupakannya. Hari-hari berlalu. Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Tak beberapa lama, pintu rumahku ada yang mengetuk. Namun, sepertinya kusangat mengenal suara itu.
“Assalamu’alaikum. Siti? Siti?” kata Amat sedikit nyaring di balik pintu.
Aku pun membukakan pintu. “wa’alaikumussalam. Eh, kamu Mat. Ada apa ya datang kesini? Ada keperluan apa ya?” aku sangat bingung kenapa dia datang kemari.
“enggak. Enggak ada apa-apa kok. cuman pengen maen ke rumah kamu aja. Boleh aku masuk rumahmu, Sit?” tanya Amat.
Aku pun mempersilakan dia masuk. “boleh kok. silakan masuk, Mat.”
“Sit, kedatanganku kesini enggak sekedar maen doang kok. ada maksud lain. Aku ingin mengulangi masa-masa bahagiaku saat bersamamu, Sit. Jujur, aku sulit melupakanmu.” Ujar Amat.
“aku enggak salah denger nih? Bukannya dulu alasan kamu mau ngajak putus karena ada cewek yang kamu suka. Kenapa sekarang ngomong ingin balikan lagi? Jangan bercanda ah, Mat!” ucapku.
“iya, aku minta maaf. Rasanya berbeda dekarang, Sit. Apa kamu mau balikan lagi sama aku?” jelas Amat.
“aduh, gimana ya, Mat? Bukannya aku nggak mau, karena saat kamu bilang begitu, sangat-sangat sakit rasanya, Mat”
“yah, nggak papa kok, Sit. Kalo kamu nggak mau, aku paham kok rasanya. Eh, kayaknya aku harus pulang nih, karena besok aku masih magang.” Jelas Amat lagi.
“yah, nggak papa kok, makasih sudah mau maen ke rumah aku. Hati-hati di jalan ya?” kataku.
Aku bingung harus jawab apa. Meski aku masih sayang, tapi dia seenaknya bilang begitu padaku.ya, aku berfikir apa salahnya jika memberi harapan yang kedua kalinya. Malamnya, aku langsung SMS dia.
Siti: “malem, maaf neh ganggu waktu kamu bilang soal yang tadi sore, pa kamu serius bilang gitu?”
Amat: “iya. Aku serius koq. Kenapa salahkan aku ngomong gitu?”
Siti: “enggak koq. Ya, gimana ya, aku bingung. Apa aku harus beri kesempatan kamu lagi? Tapi rasa ini nggak bisa bohong, aku masih sayang kamu. Apa salahnya jika mengulang semuanya dari awal lagi.”
Amat: “makasih ya kesempatannya. Aku berusaha tuk SETIA ma Cimut dech. Dach larut malam, waktunya Cimut bobo yah? Besok kan Cimut harus school”
Siti: “oke dech ayank”
Malam itu rasanya kebahagiaan yang lama hilang kini kembali lagi. Tapi, aku berharap aku takkan kehilangannya. Namun, apakah ini hanya sekedar sandiwara cinta belaka padaku? Setahun berlalu bersamanya. Saat aku masuk ke sekolah SMA, awalnya belum terasa perubahan darinya. Hingga kusadari dia berubah. Dan 1 bulan 2 hari setelah ulang tahunku kemarin 2013, dirinya tidak ada kabar. Entah kemana dia. Aku benar-benar risau, hingga ku tak bisa memejamkan mata ini, karena kutakut kehilangannya lagi. Hingga kenyataan yang harus menjawab risauku. Malam yang dingin seakan menampakkan perasaan hatiku yang mulai pudar, rasa sayang karena dia hilang tanpa kabar. Hingga suatu hari bunyi ponselku ternyata ada number baru yang memanggil. Aku bingung akhirnya aku angkat, dan terdengar suara dirinya.
“sayangku yang tercinta, maafkanlah aku sudah lama tak memberimu kabar. Sepertinya hubungan kita harus putus. Cukup sampe disini kisah kita. Kuharap, kau bahagia dengan lain.” Belum kumenjawab, ternyata sudah terputus.
Saat kumendengar kata-katanya bagiku seperti pisau yang sudah menyayat hatiku. Oh Tuhan, sebesar inikah dosaku hingga orang yang kusayang haru pergi lagi? Kini hanya tinggal kenangan manis saat bersamamu.
Malam ini begitu kelam. Terlalu pekat seperti hatiku yang sedang kelabu. Kesedihan yang tak kunjung usai selalu menyelimuti. Teringat akan kenangan yang dulu pernah buatku bahagia. Tapi kini semua tinggal kenangan. Tak ada lagi canda tawa. Sekarang ku hanya sendiri melewati hari-hari tanpamu. Terbiasa bersama untuk melewati hari dengan segala keadaan. Adakah kau merasakan perasaan yang sama dengan perasaanku saat ini, Mat? Namun kuyakini bahwa kamu adalah memori tak terlupakan. Terima kasih cinta dan sayang yang pernah kau titipkan padaku. Biarlah akan tetap kujaga di sepanjang sisa hayatku.
Namun, aku sadar. Kini, ternyata saat kusedih, masih ada keluargaku yang selalu menyayangiku. Kini ku akan melupakanmu karena kau dan aku hanya tinggal kenangan. Dan aku berusaha menjadi yang terbaik dan aku yakin bahwa aku bisa meraih cita-citaku meski masa lalu yang pernah membuat semangat hidupku redup. Aku tanpamu, aku yakin aku bisa.

Tak terasa waktunya, Apa yang di katakannya kemarin itu benar terjadi, malam itu juga ia pergi meninggalkanku. Sahabat yang ku sayamgi telah pindah. Aku mengerti apa yang di alaminya saat itu. Hanya karena terlilit hutang itu masalahnya. Aku dan orangtuaku hanya membantu sebisanya. Komputer yang Santi miliki itu telah di jual semua kepada Ayahku. Barang-barang rumah tangga juga di beli oleh Ibuku darinya. Ayahku juga memberi uang 5 juta untuk melunasi semua hutang-hutangnya kepada orang yang memberi pinjaman pada keluarga Santi.
Memang banyak jasa-jasa kami di mata mereka. Tetapi kadang perkataan orangtuaku di hiraukan begitu saja oleh orangtua Santi, Keluarga itu bersikeras untuk kabur dari rumah karena tidak sanggup lagi untuk melunasi hutang mereka termasuk kepada Bank dan rentenir.
Kini sudah 2 sahabat yang meninggalkanku, yang pertama Zakiyah, ia sahabatku sewaktu TK sampai sekarang. Ia memilih sekolah di pesantrern Jakarta karena keinginan dari Ayahnya. Memang kami masih bisa bertemu tapi itu pun jarang hanya 1 tahun sekali. Sekarang Santi yang meninggalkanku, betapa sedihnya aku saat itu. Di tinggal sahabat adalah hal yang paling menyedihkan saat itu. Betapa tidak, aku, Zakiyah dan Santi selalu bersama. Kadang kami bercanda, tertawa bersama dan bertukar pikiran.
Pernah suatu hari sebelum Zakiyah pindah untuk bersekolah di Jakarta, kami duduk santai di taman kota, kami bercerita banyak hal, bercerita betapa serunya pengalaman pribadi masing-masing.
Di mulai dengan Bismillah Zakiyah mulai bercerita “Aku masih ingat waktu dulu, waktu masih ada Mama. Mama kandungku, ia selalu menyuapiku dan adikku juga, Kadang bila Reyhana datang ke rumah dia juga di ajak makan sama Mama, Bahkan Reyhana ikut di suapi sama Mama. Iya kan An?” Lalu iya beralih kepadaku dan aku mengiyakan perkataannya.
“Oh ya sekarang giliranku ya, boleh gak?” Tanyaku pada Zakiyah dan Santi. “Iya boleh!” Sahut mereka serenpak. Aku pun mulai melanjutkan pembicaraan ini dan aku mulai bercerita. “Ini kisah ku waktu kelas 2 SD, Waktu aku di ajak orangtuaku ikut pergi ke pantai Tangkisung Bsnjarmasin, di waktu Liburan sekolah Adikku. Ceritanya begini…” dan bla bla bla aku bercerita cukup panjang hingga membuat aku kehausan.
“Nah, sekarang giliran kamu Santi.” Ucap Zakiyah dan mempersilahkan untuk memulai ceritanya. “Hmmm..” gumamnya. Sepertinya ia bingung harus bercerita apa. “gak usah di paksakan kalau kamu bingung.” Kataku.
“Iya An, A..a..aku…” Katanya terbata-bata. “Kenapa?” tanyaku heran. “Aku sedih bila harus berpisah dengan Zakiyah.” Lanjutnya lagi, perlahan ia mulai mengeluarkan air mata. Aku pun ikut bersedih. Kami tidak ingin kehilangan sosok Zakiyah yang seelalu ada buat kami. kami cukup bahagia bisa bersamanya selama ini.
“Santi, Reyhana, kalian jangan bersedih, aku di sini hanya menuruti keinginan Ayahku. Kita pasti bertemu lagi, kita bisa kumpul bersama lagi, jadi jangan khawatir.” Kata Zakiyah. Tak terasa suasana yang tadinya bahagia kini menjadi kesedihan.
Hampir tiga tahun ini akui tidak bertemu Zakiyah dan Santi dan selama itulah aku mengingat sesuatu. Santi berpamitan denganku.
“Reyhana!” teriak santi dari belakang, ia lalu berlari menghampiriku. “Iya ada apa Santi?” Tanyaku heran. “Ada yang harus aku bicarakan Padamu.” Kata santi pelan. “Apa itu?” tanyaku lagi. “Sudah ikut aja.” Santi lalu menarik tanganku untuk menuju ke suatu tempat di mana aku, Zakiyah dan Sant selalu bersama.
“Kamu sudah tau kan masalah dalam keluargaku?” Tanyanya. Aku pun mengangguk menandakan tahu dengan masalah yang menimpa keluarganya. “Aku akan pergi.” Katanya berterus terang. “Tapi kenapa?” Tanyaku. aku rasanya tak percaya bila Santi harus meninggalkanku sendiri tanpa dia.
“Kamu tau kan keluargaku terlilit banyak hutang, orang tuaku tak sanggup untuk melunasinya.” Katanya dengan nada pelan. Aku hanya terdiam menatap dirinya yang kecil itu harus pergi jauh. Lalu ia melanjutkan perkataannya itu. “Ini rahasia, aku dan keluargaku memutuskan kabur dari rumah. Jaga dirimu baik baik Reyhana.” Ia lalu mengakhiri perkataannya. Dan menghapus semua air matanya.
“Jangan lagi, setelah Zakiyah, kenapa kamu juga ikut pergi? Aku tak ingin kau jauh dariku.” Kataku dengan air mata yang telah membasahi pipiku. Santi lalu memelukku dan menghapus semua air mataku. Lalu ia pergi begitu saja tanpa memperdulikan aku.

Tak terasa sudah, ini adalah hari terakhirku di sekolahku yang telah memberikan banyak kenangan di sana. Sekolahku MASAMUDA (MTs Muhammadiyah 2)-ku, guru-guruku, teman-temanku dan adik-adikku semua, mereka adalah kenangan terindahku. Banyak hal yang aku dapat dari mereka semua yaitu kebersamaan dan persaudaraan. Tak akan ku lupakan kenangan indah bersama kalian sampai akhir hayatku, Itu janjiku.
Perpisahan ini merupakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ya aku bahagia karena bisa melanjutkan sekolah ke MA nantinya dan sekaligus sedih karena berpisah dengan orang-orang yang ku sayangi di sekolah ini.
Setelah aku berdiri di atas panggung untuk membacakan puisi TERIMAKASIH GURUKU aku lalu kembali duduk di tempat dudukku dengan air mata ini. Tak rela rasanya bila berpisah dengan orang yang ku sayang. Sekolahku, guruku, teman-teman dan adik-adikku serta sahabatku Zakiyah dan Santi. Kalianlah sumber kebahagiaanku. Kalian akan selalu ku ingat selamanya.