Minggu, 14 Juli 2013



Batik Impianku


            Ketika Kak Dira hendak pergi menuju sebuah sanggar seni batik, ia menitipkan sebuah pesan padakau bahwa aku harus tetap di rumah untuk menjaga adik-adikku. Rasanya aku iri sekali. Aku sangat suka dengan batik nusantara. Hampir semua barang yang kumiliki bermodekan batik. Mulai dari pakaian hingga hiasan di kamarku. Tapi sayang, bukan aku yang pergi ke sanggar seni batik itu.

            Aku hanya dapat menanti datangnya cerita dari kak Dira. Ketika malam tiba, aku duduk terpaku memandang bintang di langit. Dan berharap aku bisa punya toko batik dan mahir dalam pembuatannya.

            Ketika esok harinya tiba, dari kejauhan terlihat kakakku Dira dating penuh tawa. Tak sempat pun ia berkemas-kemas, lalu ia bercerita, “Adikku, kakak pulang membawa cerita yang sangat menarik”, ujar kakak. Hatiku pun berdebar dan mencoba mendengar cerita kak Dira.

            “Dik, tahu tidak! Ketika kakak sampai di sanggar seni batik itu, kakak melihat beraneka ragam kain batik di olah dengan sangat terampil. Kakak pun tertarik dan mencoba membuatnya dengan canting”, jelas kakak.

            “Kak, aku begitu bersedih. Aku ingin melihat proses pembuatannya dan juga membuat sebuah took batik. Tapi aku rasa itu hanya harapan kosong”, jawabku
            “Tidak ada yang tidak mungkin. Tetaplah berusaha keras. Kalu begitu kakak berkemas dulu ya!”, ujar kakak

            Aku tetap meresapi perkataan kakak. Dan saat siang tiba, aku segera bergegas pergi ke toko buku untuk mencari buku tentang proses pembuatan batik. Rasanya letih demi mencari buku itu. Sudah beberapa toko aku datangi, namun tidak satupun kutemukan. Ketika aku terus berjalan mencari, aku bertemu dengan salah seorang teman akrabku, Harza. Akupun menceritakan kendalaku padanya. Dan kebetulan dia memiliki buku itu dan mengambilnya ke rumah Harza.

            Namun sayangnya, ketika tiba di sana yang ia tunjukkan bukanlah buku tentang proses pembuatan batik, tetapi malah buku kumpulan do’a-do’a. aku begitu tekejut sekali dan tertawa. Aku mengira Harza salah member buku. Tetapi ia bermaksud kalau aku harus berdo’a untuk mencapai apa yang aku inginkan. Walaupun sedikit kecewa, tetapi ada motivasi yang aku dapat.

            Setelah beberapa hari kemudian, aku mendatangi ibu di kampong dengan meninggal adik dan kakakku. Namun sayang, ibu tidak ada di rumah. Aku terpaksa menunggu sampai ibu pulang. Tak lama kemudian, datanglah sesosok wanita dari kejauhan. Itulah ibuku. Betapa ia terkejut melihatku menggunakan kemeja batik, dan tas batik.

            “Nak, kenapa kamu memakai batik? Kemana hendak kamu ajak ibu”, tany ibu
            “Yam au kerumahlah bu”, jawabku

            Ibu pun membawaku dengan rasa heran. Lau aku menceritakan apa yang sedang aku rasakan. Dan ibu mendapatkan solusi terbaik. Pada saat itu, di daerah dekat kampong itu, ada sebuah keluarga yang menurut ceritanya sangat telaten dalam pengolahan batik ini. Kamipun segera menuju ke sana. Setibanya di sana, aku dan ibu heran dan dalam hati bertanya, “mengapa sepi sekali?”. Kamipun mencoa masuk. Betapa kotornya rumah itu dan dipenuhi oleh kecoa dan semak belukar. Saat itu, lewatlah seorang bapak kearah rumah itu. Kami kira dialah pemilik rumah yang kami cari. Tapi ternyata bapak itu adalah penjaga rumah tua itu. Karena timbuk rasa bingung, aku dan ibu segera saja menanyakan kepada penjaga rumah itu. Dan katanya pemilik rumah itu sudah pindah ke kota untuk mengembangkan usahanya.

            Rasanya berat untuk menampilkan senyuman. Pulang dengan tangan kosong. Aku hampir merasa putus asa. Akupun kembali ke kost untuk sekolah. Di sekolah, aku sangat suka pelajaran seni. Guru-guru salut dengan kesenian-kesenian yang aku buat. Namun sayang, sekian banyak materi yang bisa dipraktekkan, hanya batik yang tidak bisa dipraktekkan. Selain karena guru seni yang tidak tahu, melainkan fasilitas juga tidak ada. Berhari-hari aku lewati dengan penuh harapan. Kak Dira hanya bisa memberi semangat. Saat itu, aku berfikir untuk tidak lagi menyukai batik. Barang-barangku yang bermodekan batik, aku masukkan ke dalam peti. Aku mencoba menjauhi diri dari batik. Kak Dira pun heran mengapa aku tidak sering memakai batik lagi. Aku hanya bisa menjawab, “Aku lebih suka memakai benda-benda yang simple-simple aja”.

            Sebulan aku lewati dengan menjauhi batik. Ketika aku hendak pergi sekolah aku membawa barang-barang yang bermodekan batik itu untuk di bagikan kepada kaum fakir. Setibanya aku di sekolah, terlihat seorang pegawai yang memakai pakaian batik. Aku langsung mengalihkan perhatianku. Kemudian guru seniku memanggilku. Aku mendatanginya. Dan aku dikejutkan sekali dengan penyampaian guru seniku. Aku dijemput oleh orang-orang yang berseragam batik itu. Guru kesenianku sangat mengerti bahwa aku sangat mencintai batik dan ia mengirimkan data-data ku ke salah satu sanggar seni batik di kota tetangga. Betapa aku sangat bahagia. Ketika itu juga aku sujud syukur. Dan barang-barang yang hendak aku sumbangkan tadi, tidak jadi aku bagikan.

            Aku segera pulang dengan kabar bahagia. Dan segera mengemas pakaianku untuk segera berangkat. Tak lupa juga pamit. Aku berpikir impianku dengan batik kian terwujud. Kini, aku kembali seperti dulu lagi. Namun selama aku berlatih mengolah batik di sanggar seni itu, banyak sekali cobaan. Ketika pertama kali aku belajar, tanganku terkena lilin yang panas. Dan banyak lagi luka-luka di tubuhku. Selain itu aku juga terkadang mendapat amarah dari Pembina, bila aku salah sedikit mengerjakannya.

            Setelah aku menginjak usia 23 tahun dan saat itu aku mulai menginjakkan karierku. Setelah tamat kuliah dari jurusan sastra, aku langsung mencari modal untuk membuka usaha. Tetapi sangat sulit. Akhirnya tidak jadi aku membuka usaha. Aku hanya bisa mengembangkan bakatku di rumah saja. Ketika itu, saat aku sedang membuat batik di sanggar, datanglah seorang pengusaha besar batik ke sanggarku. Tujuan ia datang untuk mencari karyawan-karyawan yang handal. Dari banyak teman-temanku, aku dan Rizalah yang terpilih menjadi karyawan di perusahaannya. Walaupun aku tidak bisa membuka usaha ataupun toko batik seperti yang aku harapkan. Tetapi tidak apalah aku menjadi karyawan dalam pengolahan batik di perusahaan itu. Apapun yang terjadi, aku tetap berusaha dan berdo’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar