Batik Impianku
Ketika Kak Dira hendak pergi
menuju sebuah sanggar seni batik, ia menitipkan sebuah pesan padakau bahwa aku
harus tetap di rumah untuk menjaga adik-adikku. Rasanya aku iri sekali. Aku
sangat suka dengan batik nusantara. Hampir semua barang yang kumiliki
bermodekan batik. Mulai dari pakaian hingga hiasan di kamarku. Tapi sayang,
bukan aku yang pergi ke sanggar seni batik itu.
Aku hanya
dapat menanti datangnya cerita dari kak Dira. Ketika malam tiba, aku duduk terpaku
memandang bintang di langit. Dan berharap aku bisa punya toko batik dan mahir
dalam pembuatannya.
Ketika esok
harinya tiba, dari kejauhan terlihat kakakku Dira dating penuh tawa. Tak sempat
pun ia berkemas-kemas, lalu ia bercerita, “Adikku, kakak pulang membawa cerita
yang sangat menarik”, ujar kakak. Hatiku pun berdebar dan mencoba mendengar
cerita kak Dira.
“Dik, tahu
tidak! Ketika kakak sampai di sanggar seni batik itu, kakak melihat beraneka
ragam kain batik di olah dengan sangat terampil. Kakak pun tertarik dan mencoba
membuatnya dengan canting”, jelas kakak.
“Kak, aku
begitu bersedih. Aku ingin melihat proses pembuatannya dan juga membuat sebuah
took batik. Tapi aku rasa itu hanya harapan kosong”, jawabku
“Tidak ada
yang tidak mungkin. Tetaplah berusaha keras. Kalu begitu kakak berkemas dulu
ya!”, ujar kakak
Aku tetap
meresapi perkataan kakak. Dan saat siang tiba, aku segera bergegas pergi ke
toko buku untuk mencari buku tentang proses pembuatan batik. Rasanya letih demi
mencari buku itu. Sudah beberapa toko aku datangi, namun tidak satupun
kutemukan. Ketika aku terus berjalan mencari, aku bertemu dengan salah seorang
teman akrabku, Harza. Akupun menceritakan kendalaku padanya. Dan kebetulan dia
memiliki buku itu dan mengambilnya ke rumah Harza.
Namun
sayangnya, ketika tiba di sana yang ia tunjukkan bukanlah buku tentang proses
pembuatan batik, tetapi malah buku kumpulan do’a-do’a. aku begitu tekejut
sekali dan tertawa. Aku mengira Harza salah member buku. Tetapi ia bermaksud
kalau aku harus berdo’a untuk mencapai apa yang aku inginkan. Walaupun sedikit
kecewa, tetapi ada motivasi yang aku dapat.
Setelah
beberapa hari kemudian, aku mendatangi ibu di kampong dengan meninggal adik dan
kakakku. Namun sayang, ibu tidak ada di rumah. Aku terpaksa menunggu sampai ibu
pulang. Tak lama kemudian, datanglah sesosok wanita dari kejauhan. Itulah
ibuku. Betapa ia terkejut melihatku menggunakan kemeja batik, dan tas batik.
“Nak, kenapa
kamu memakai batik? Kemana hendak kamu ajak ibu”, tany ibu
“Yam au kerumahlah
bu”, jawabku
Ibu pun
membawaku dengan rasa heran. Lau aku menceritakan apa yang sedang aku rasakan.
Dan ibu mendapatkan solusi terbaik. Pada saat itu, di daerah dekat kampong itu,
ada sebuah keluarga yang menurut ceritanya sangat telaten dalam pengolahan
batik ini. Kamipun segera menuju ke sana. Setibanya di sana, aku dan ibu heran
dan dalam hati bertanya, “mengapa sepi sekali?”. Kamipun mencoa masuk. Betapa
kotornya rumah itu dan dipenuhi oleh kecoa dan semak belukar. Saat itu,
lewatlah seorang bapak kearah rumah itu. Kami kira dialah pemilik rumah yang
kami cari. Tapi ternyata bapak itu adalah penjaga rumah tua itu. Karena timbuk
rasa bingung, aku dan ibu segera saja menanyakan kepada penjaga rumah itu. Dan
katanya pemilik rumah itu sudah pindah ke kota untuk mengembangkan usahanya.
Rasanya
berat untuk menampilkan senyuman. Pulang dengan tangan kosong. Aku hampir
merasa putus asa. Akupun kembali ke kost untuk sekolah. Di sekolah, aku sangat
suka pelajaran seni. Guru-guru salut dengan kesenian-kesenian yang aku buat.
Namun sayang, sekian banyak materi yang bisa dipraktekkan, hanya batik yang
tidak bisa dipraktekkan. Selain karena guru seni yang tidak tahu, melainkan
fasilitas juga tidak ada. Berhari-hari aku lewati dengan penuh harapan. Kak
Dira hanya bisa memberi semangat. Saat itu, aku berfikir untuk tidak lagi
menyukai batik. Barang-barangku yang bermodekan batik, aku masukkan ke dalam
peti. Aku mencoba menjauhi diri dari batik. Kak Dira pun heran mengapa aku
tidak sering memakai batik lagi. Aku hanya bisa menjawab, “Aku lebih suka
memakai benda-benda yang simple-simple aja”.
Sebulan aku
lewati dengan menjauhi batik. Ketika aku hendak pergi sekolah aku membawa
barang-barang yang bermodekan batik itu untuk di bagikan kepada kaum fakir.
Setibanya aku di sekolah, terlihat seorang pegawai yang memakai pakaian batik.
Aku langsung mengalihkan perhatianku. Kemudian guru seniku memanggilku. Aku
mendatanginya. Dan aku dikejutkan sekali dengan penyampaian guru seniku. Aku
dijemput oleh orang-orang yang berseragam batik itu. Guru kesenianku sangat
mengerti bahwa aku sangat mencintai batik dan ia mengirimkan data-data ku ke
salah satu sanggar seni batik di kota tetangga. Betapa aku sangat bahagia.
Ketika itu juga aku sujud syukur. Dan barang-barang yang hendak aku sumbangkan
tadi, tidak jadi aku bagikan.
Aku segera
pulang dengan kabar bahagia. Dan segera mengemas pakaianku untuk segera
berangkat. Tak lupa juga pamit. Aku berpikir impianku dengan batik kian
terwujud. Kini, aku kembali seperti dulu lagi. Namun selama aku berlatih
mengolah batik di sanggar seni itu, banyak sekali cobaan. Ketika pertama kali
aku belajar, tanganku terkena lilin yang panas. Dan banyak lagi luka-luka di
tubuhku. Selain itu aku juga terkadang mendapat amarah dari Pembina, bila aku
salah sedikit mengerjakannya.
Setelah aku
menginjak usia 23 tahun dan saat itu aku mulai menginjakkan karierku. Setelah
tamat kuliah dari jurusan sastra, aku langsung mencari modal untuk membuka
usaha. Tetapi sangat sulit. Akhirnya tidak jadi aku membuka usaha. Aku hanya
bisa mengembangkan bakatku di rumah saja. Ketika itu, saat aku sedang membuat
batik di sanggar, datanglah seorang pengusaha besar batik ke sanggarku. Tujuan
ia datang untuk mencari karyawan-karyawan yang handal. Dari banyak
teman-temanku, aku dan Rizalah yang terpilih menjadi karyawan di perusahaannya.
Walaupun aku tidak bisa membuka usaha ataupun toko batik seperti yang aku
harapkan. Tetapi tidak apalah aku menjadi karyawan dalam pengolahan batik di
perusahaan itu. Apapun yang terjadi, aku tetap berusaha dan berdo’a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar