Kamis, 06 Juni 2013


Davis mencintainya…
Dia sangat yakin dengan hal itu. Pemuda ini bahkan sudah melakukan banyak percobaan konyol hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar-benar cinta yang ia rasakan saat ini dan membuatnya gelisah setiap saat. Hasilnya tentu saja, ia memang benar-benar mencintai gadis itu. Dan tidak akan ada sesuatu apapun yang bisa membuatnya ragu.
Davis sangat mencintainya…
Tapi gadis itu tidak pernah melihatnya. Selama hidupnya, fokus gadis itu hanya ada satu, yaitu pada kakak laki-lakinya. Entah apa yang membuat gadis itu menjadi sangat-sangat terobsesi pada kakaknya itu. Mungkin gadis ini punya kelainan dan mengidap penyakit incest atau brother complex yang sangat akut, mungkin.
Davis sendiri juga tidak mengerti kenapa. Padahal dia jauh lebih baik, keren, berbakat, cerdas, pandai bergaul, dan populer dibandingkan dengan kakak gadis itu. Singkatnya, jika dibandingkan dengan dirinya sendiri, kakak laki-laki gadis itu tidak ada apa-apanya (itu menurut penilaian seorang Davis sendiri).
Tapi tetap saja, gadis itu tampak tidak peduli dengan apapun selain kakaknya. Karena itulah, segala hal yang bisa Davis lakukan hanyalah memandangi gadis itu secara diam-diam.
Davis tulus mencintainya…
Ia sangat-sangat mencintai gadis itu atas apapun yang ia miliki. Tapi apa yang mungkin bisa terjadi jika gadis itu bahkan tidak melihatnya? Gadis itu bahkan tidak pernah terlihat ingin menatap Davis sedikit pun.
Davis tidak bisa mendekati gadis itu. Bahkan hanya untuk sekedar menyapa dan mengucapkan ‘selamat pagi’ pun percuma. Gadis itu seakan tidak mendengar apapun kecuali kata-kata yang diucapkan oleh kakaknya. Kalau itu terus berlangsung, semua siksaan itu benar-benar akan membunuh Davis suatu saat nanti.
Davis benar-benar mencintainya…
Gadis itu sudah menjadi segalanya bagi Davis. Dia bahkan sudah membuat kamarnya sendiri bagai tempat pemujaan sesat untuk gadis itu. Berbagai macam foto hasil jepretan sembunyi-sembunyi tertempel mantap di setiap tempat yang ada di dinding kamarnya. Itu benar-benar menjadikannya sebagai penguntit nomor satu untuk gadis itu. Mengalahkan gadis itu sendiri dalam hal mengikuti kakaknya.
Untuk Davis, mencintai gadis itu sudah menjadi bagian tersendiri dari hidupnya. Dan Davis tidak akan pernah menyesali apapun dari keadaan kacaunya kali ini. Biarlah, toh tidak ada yang dirugikan karena itu semua. Lagipula…
Davis mencintainya dari hatinya yang terdalam…
Dia menyukai semua yang ada pada gadis itu. Semuanya, tanpa terkecuali. Mulai dari paras cantiknya yang dibingkai dengan indah oleh rambut sewarna kayu coklat yang panjang dan selalu dihiasi oleh sebuah pita. Lalu kulit putih pucatnya yang terasa dingin tetapi sangat lembut itu (Davis pernah tidak sengaja menyentuh tangan gadis itu yang berujung dia nyaris mati terjatuh dari tangga). Bahkan ekspresi datarnya yang menakutkan dan juga aura menyeramkan yang selalu terasa kuat dari gadis itu.
Davis menyukai semuanya dan ia benar-benar tidak bisa menemukan alasan untuk membencinya. Pemuda ini memang tidak akan pernah bisa membenci gadis itu sedikit pun. Apapun yang mungkin akan ada pada gadis itu.
Davis bersumpah bahwa ia mencintainya…
Demi apapun yang ada di bumi ini. Demi seluruh hidupnya yang sudah ia jalani sejak ia dilahirkan hingga saat ini. Dan demi semua yang ada pada dirinya sendiri. Dia sudah sangat mencintai gadis itu dan tidak akan pernah bisa berpaling darinya sedikit pun. Ia sudah mengambil seluruh keyakinannya dan membuktikan bahwa ia mencintai gadis itu.
Davis mencintainya…
Tapi Davis juga sangat tahu. Hanya meyakini dan percaya bahwa ia benar-benar mencintai gadis itu tidak akan berarti apa-apa jika gadis itu juga tidak tahu tentang perasaannya. Mustahil sang takdir akan menggariskan suatu hubungan antara mereka berdua jika tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha untuk melukis garis itu.
Davis meyakinkan dirinya sendiri. Ia sungguh-sungguh harus melakukan sesuatu sebelum perasaan ini menyiksanya lebih dalam dan membunuhnya, atau lambat laun dia akan membunuh dirinya sendiri karena sudah tidak tahan lagi. Menyimpan semua ini selama ini benar-benar suatu siksaan lahiriah maupun batin bagi Davis – atau siapapun.
Berbekal seluruh perasaan tulusnya selama ini dan juga keberaniannya yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah, Davis benar-benar meneguhkan hati untuk menemui gadis itu hari ini juga dan mengatakan seluruh perasaannya. Apa pun reaksi gadis itu, Davis sudah siap. Dia tidak akan peduli jika gadis itu marah atau melakukan hal buruk padanya. Setidaknya, Davis sudah mengatakan semua ini padanya.
Di bawah matahari terbenam musim panas, di tepi sungai bening yang memantulkan cahaya dan sesekali menimbulkan riaknya, Davis benar-benar mengatakan semuanya pada gadis itu.
“Cynthia,” ucap Davis gugup, “aku… menyukaimu…”
Belum ada reaksi dari sang gadis. Ia masih berdiri dan tak mengubah posisinya sejak tadi. Tapi dari tatapan matanya, Davis dapat menangkap bahwa gadis itu menuntut penjelasan yang lebih.
“A-aku tahu kalau kau bahkan mungkin tidak mengenalku. Tapi… aku… benar-benar menyukaimu, Cynthia. Kau itu cantik, perhatian, dan aku juga yakin bahwa kau itu sebenarnya baik. Dibalik semua sifat dinginmu itu… aku tahu kalau kau juga punya perasaan yang lain. Yah, pokoknya intinya adalah, aku menyukaimu atas… semua yang ada padamu… Tanpa ada alasan lain. Aku mencintaimu tanpa mengharap apapun.”
Sedikit kurang lancar memang, tapi Davis sudah berusaha sebaik-sebaiknya untuk mengatakan itu semua. Lagipula kalimat-kalimat tadi adalah kalimat paling bagus yang bisa ditemukan Davis saat ini… jika dibandingkan dengan kalimat gombal yang ia dapatkan dari salah satu temannya kemarin dan ia latihkan semalam suntuk…
Gadis bernama Cynthia itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih lembut. “Aku tahu siapa kau. Kau itu Davis Fones, pemuda banyak tingkah yang sering mencari-cari perhatian. Kau juga sering mencari masalah dengan kakak.”
Mendadak Davis merasa ingin melemparkan dirinya ke sungai. Ia benar-benar lupa fakta bahwa dirinya dan kakak gadis itu sudah seperti musuh sampai beberapa saat lalu. Demi, Tuhan, jangan buat semua ini gagal hanya karena itu! Oh, tapi Davis benar-benar sudah melangkah terlalu jauh sekarang, akan sangat memalukan kalau ia harus mundur dari sini–
“Aku tahu kalau kau juga sering memperhatikan dan mengikutiku.”
–jantung Davis langsung serasa ingin melompat keluar.
Cynthia kembali melanjutkan. “Tapi apa kau tahu,” gadis itu tersenyum, “aku juga sering memperhatikanmu.”
Davis benar-benar merasa jantungnya sudah terlempar entah ke mana sekarang dan otaknya sempat mati selama beberapa detik. Butuh waktu dua kali lipat lebih lama baginya untuk mencerna ucapan orang kali ini…
… Oh, Tuhan. Gadis ini juga memperhatikan dirinya? Bahkan mendapatkan hadiah liburan gratis keliling dunia sepuasnya ditambah dengan uang hadiah yang akan diberikan seumur hidup pun tidak bisa menandingi kejutan yang terlontar dari mulut gadis itu.
“Cyn-Cynthia…” Davis benar-benar kehilangan kemampuannya untuk menemukan kata-kata.
Cynthia tersenyum lagi, senyum manisnya yang sangat langka karena ia tidak pernah terlihat tersenyum selama ini. “Aku suka selalu melihatmu ada di sekelilingku dan menatapku secara diam-diam. Aku suka semua tingkahmu ketika mengikutiku selama ini,” Cynthia memalingkan wajahnya. “Tapi, kupikir aku akan lebih suka kalau kau tidak mengikutiku secara diam-diam lagi. Karena… hanya bisa melihat orang yang disukai secara diam-diam itu… sangat menyebalkan, kau tahu itu, kan?”
Davis yang tidak menyangka akan ucapan dari Cynthia barusan merasa bahwa otaknya sedang berhalusinasi. “Umm… Cynthia, kau…” ucapnya beberapa saat kemudian. Davis benar-benar tidak bisa menemukan kata-kata yang lebih baik lagi sekarang.
“Ya…” Cynthia masih memalingkan wajahnya, gadis ini tidak bisa menatap Davis. “Aku juga.. punya perasaan yang sama denganmu, Davis.”
Davis tersenyum lebar. Dengan perlahan ia berjalan mendekati Cynthia dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. “Lalu, Cyndy?” tanyanya langsung, entah sadar atau tidak kalau ia baru saja menyebut gadis itu dengan sebutan lain.
Cynthia mendadak memasang ekspresi kaget dan wajahnya makin merah. “Ka-kau memanggilku apa? Cyn-Cyndy?”
“Ma-masa? Yang benar?” Davis ikut bingung. “Ah, itu–”
“Tidak apa-apa,” potong Cynthia cepat. “A-aku… Kupikir aku… Kau bisa memanggilku seperti itu…”
Davis membelalakkan matanya. Sekali lagi, dia merasa kalau otaknya sempat mati. Cynthia mengizinkannya memanggilnya dengan panggilan itu? Panggilan Cyndy? Itu berarti…
“Kau… mau, Cyndy?” Davis mengucapkannya perlahan. Masih belum percaya.
Cynthia memalingkan wajahnya lagi. “Se-selama kau juga… denganku…” Cynthia berhenti sesaat, “aku… juga tidak keberatan…”
Dan sesaat setelah ia mengucapkan itu, hal yang Cynthia sadari adalah ia sudah berada dalam pelukan Davis. Pemuda itu memeluknya erat, juga hangat.
“Terima kasih.” Davis nyengir lebar sambil tetap memeluk Cynthia. “Dan aku mencintaimu, Cyndy.”
Sekarang adalah Cynthia yang bagai mati rasa. Merasakan hangat tubuh Davis yang memeluknya, samar-samar mendengar debar jantung pemuda itu yang begitu cepat, dan juga mendengar ucapan Davis tadi membuat perasaannya makin tak karuan. Perlahan diangkatnya kedua tangannya, membalas pelukan Davis.
“Aku juga… mencintaimu.”
Di bawah matahari terbenam musim panas, di tepi sungai bening yang memantulkan cahaya dan sesekali menimbulkan riaknya, garis takdir dari cinta dua manusia itu telah tergaris. Kuat dan manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar