Kamis, 06 Juni 2013


Aku tertawa-tawa bersama teman-temanku Alumni SD angkatanku. Hari ini sekolahku mengadakan reunian akbar. Dari satu angkatan diatas angkatanku hingga dua angkatan dibawahku. Bertempat di Sekolah ini, aku takjub mendapati banyak sekali orang yang hadir. Bahkan anak cowoknya pun hadir, dan tentu saja dengan perubahan mereka karena sudah empat tahun aku tidak melihat dia lagi. Kan sudah lulus dari SD ini.
“Nay, jadi ke rumahku nggak?” Tanya Hana.
“Sip” kataku. “Eh, Nina nagihin gambar pas kita dare di rumahmu tuh” Nina adalah temanku di SMA dan teman Hana di SMP.
“Ya udah” kata Hana. “Lif, ketemu teman SMP ku nggak pa-pa kan?” Alif mengancungkan jempol. Aku, Hana, Alif, dan Dena akan ke rumah Hana (kan udah dibilang).
Aku memandang ke sembarang arah, acara inti memang sudah selesai. Sekarang waktunya acara ngobrol-ngobrol. Beberapa ada yang ngobrol dengan beberapa guru yang mengajar kami dulu. Tiba-tiba pandanganku menubruk sesosok cowok. Awalnya aku kembali melemparkan pandangan.
Tapi tunggu, aku menoleh lagi. Sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana yah? Tahu ah, aku pun bersikap tidak peduli.
>_<
Rasanya tidak enak kalau aku tidak pernah menceritakan sebuah kenangan di SD ku. Akan ku ceritakan salah satunya. Yang terindah? Mungkin. Atau… bisa jadi!
Namanya Ziyad Ramadhan, Dia adalah kakak kelasku. Namun sebenarnya dia anak pindahan saat aku kelas empat (dan dia kelas lima). Kulitnya putih, bibir nya merah (aku malu setiap menyebut itu, dia kan cowok), perawakannya pun tinggi dan cukup berisi. Karena aku anaknya cuek, dan saat itu belum ngerti tentang cowok. Aku tidak bisa memastikan (sampai sekarang) apa dia itu terlalu cantik untuk seorang cowok.
Aku ingat sekali saat pertama kali bertemu dia. Saat itu hari Selasa. Anak-anak bersiap-siap pergi ke masjid untuk shalat dzuhur. Aku? Malah kabur ke gedung TK yang satu komplek dengan gedung SD. Disitulah aku bertemu dia untuk pertama kalinya.
“Hai” sapanya.
Begitu dia pergi, aku langsung terbengong. Siapa cowok ini? Batinku bingung. Akhirnya aku menengok ke arah lapangan. Alamak, di masjid udah muroja’ah*!. Aku langsung lari menuju masjid.
Seumur hidup aku tidak pernah di sapa oleh cowok. Namun seorang cowok yang tidak ku kenal menyapaku sebegitu enaknya. Dan hal itu berulang beberapa kali hingga membuatku malu dan ingin menghindarinya.
Akhirnya aku tahu kalau dia kakak kelasku, akupun bertanya pada Kak Jihan anak angkatannya. Akhirnya Kak Jihan menjawab, “Namanya Ziyad” aku manggut-manggut. Oh itu namanya.
Hal itu terjadi berulang kali. Suatu hari kelakuan dia tertangkap basah oleh teman-temanku. Itu sih salah dia, kenapa harus nyapa di depan banyak orang. Tentunya hal itu dapat menimbulkan salah presepsi di benak banyak orang, kan repot jadinya. Kalian satu pendapat denganku kan?
Perasaan itu belum muncul. Bahkan aku selalu menghindarinya karena aku selalu bingung aku harus jawab apa setiap di sapa olehnya. Mungkin hanya menjawab, “Ya” atau “Apa?”. Ya.. semacam itulah.
///
“Hayo bacaannya..” aku menoleh.
Ya elah bocah ini lagi, bikin kaget aja. Aku memandangi buku yang ku baca. Isinya memang cukup dewasa sih, bahkan sempat nyerempet ke pernikahan segala.
Aku memang suka membaca apa saja, walaupun harus nyerempet ke topik yang belum saatnya ku baca (belum cukup umur tahu). Aku ingat, aku pernah menjadi objek ‘konsultasi’ ayahku di sebuah kajian parenting di sebuah radio islam (dan ayah mendramatisir usianya menjadi 8 tahun, padahal usiaku sudah 11 tahun). Lalu mendapat doorprize pertanyaan terbaik. Huff. Hal itu terjadi setahu setelah kami terpisah.
Dia ternyata juga suka berada di Perpustakaan. Dari saat letak perpustakaan di lantai dua, hingga berpindah di tempatnya yang bertahan hingga sekarang. Walaupun entah buku apa saja yang ia baca. Bahkan sampai masuk brosur dengan pose baca Koran. Padahal aku yang jauh lebih rajin darinya saja nggak kebagian (he.he… not important).
Perlu di garis bawahi (di bold, italic, underline, gedein juga boleh). Aku rajin ke Perpustakaan bukan karena kehadirannya. Justru aku kadang-kadang doang bertemu dengan dia. Itupun sibuk dengan dunia masing-masing.
Rajin ke Perpustakaan itu adalah habbitku sejak lama. Terjadi sejak SD ku baru punya Perpustakaan yang sederhana. tampa computer, rak, pengaturan yang cukup berantakan. Letaknya di sebelah ruang kelas ku semasa kelas dua.
Aku ingat, hampir setiap hari buku di tangan ku selalu berganti. Hari ini buku A Besok Buku B. Aku ingat, di usia itu aku udah baca tentang kisah perjanjian linggarjati.
Wei, wei, kok jadi ngawur begini sih? Oke kita kembali ke topik. Kehadiran cowok ini memang selalu mengagetkan. Namun saat aku dan dia terpisah bertahun kemudian (tanpa kabar, aku bahkan nggak yakin dia masih ingat aku), terkadang aku tersenyum jika mengenang hal itu. Karena aku merasa apa ya? Merasa diperhatikan? Tapi saat itu Nayla kecil belum mengerti hal itu.
Singkatnya, tanpa terasa perasaan itu mulai bersemi. Saat itu akhir kelas empat. Namun sayangnya dia menyukai (apa disukai?) teman seangkatanku namanya Rina. Dia memang cantik sih, lebih cantik daripada aku. Namun aku pun tidak peduli dia menyukai aku atau nggak, yang jelas aku menyukainya titik.
Setiap sholat zuhur dan asar (murid solat di masjid sekolah). Pasti aku menantikan kedatangan dia dengan teman-temannya. Setiap dia ada atau lewat aku pasti girang. Ya.. biarpun aku sembunyiin sih. Aku kan anaknya cool, he..he..
Saat itu aku tidak tahu apakah perasaan itu wajar muncul atau tidak. Berhubung usiaku yang masih belia saat itu. Tapi aku yang cuek tidak memedulikan hal itu. Mulai saat itu hidupku terasa mulai berwarna.
~(-_-)~
“Ayo, lagi ngapain tuh disitu?”
Aku yang sedang meringkuk di mainan perosotan berbentuk terowongan di gedung TK mendongak. Ternyata dia!
“Astaghfirullah!” reflek aku mundur. Lagi-lagi bikin kaget!
“Ayo, naksir teman ku ya?”
Lagi-lagi aku tambah melongo. Yang benar aja! Aku kan sukanya yang barusan ngomong (halah..). Tadi memang temannya sempat masuk ke area bermain TK. Aku yang duduk-duduk sendirian (berasa seperti orang gila) ngumpet di mainan perosotan berbentuk terowongan. Malu euy.
“Nggak Kak” jawabku tergagap. Aku langsung lari ke atas dan menuruni tangga. Aku pun kabur dari gedung TK. Tapi entah kenapa hatiku girang. Dan ingin meledak!
//\\//\\
Kelas lima SD, perasaan itu mulai sedikit memudar. Awalnya aku mengira tidak menyukai siapa-siapa lagi. Apalagi aku termasuk anak yang cuek. Namun ternyata aku salah.
Aku menyukai teman sekelasku namanya Robie. Dia pintar, lebih pintar dariku yang biasa-biasa saja. Terkesan cupu, tapi sok-sok jadi anak bandel.
Kalau ditanya alasan aku menyukai dia jawabanku adalah: NGGAK TAHU. Mungkin kalau bahasa anak zaman sekarang: Cinta Nggak Butuh Alasan. Seperti alasanku yang absurd mengapa aku menyukai Kak Ziyad. Tapi mungkin karena aku sering main sama Robie.
Singkatnya, aku dan Kak Ziyad sudah saling jaga imej. Ya.. mungkin karena dia juga persiapan Ujian Akhir (dan udah punya taksiran baru). Aku sibuk dengan pelajaran, ekskul, dan lain-lain. Kami pun benar-benar terpisah dalam dunianya sendiri.
Seperti saat festival Sekolah. Kami berdua berpapasan. Kami hanya lewat begitu saja.
XD
Tiga bulan sebelum kenaikan kelas enam. Semenjak itulah aku tidak pernah melihatnya lagi. Bahkan hingga lima setengah tahun kemudian. Saat usiaku memasuki batas anak-anak dengan kedewasaan.
Aku tidak tahu dia melanjutkan sekolah dimana (memangnya dia tahu?). Bahkan aku sudah tidak mampu lagi mengingatkan wajahnya. Kecuali yang ku sebutkan di awal. Selain itu aku nggak ingat lagi.
Jujur, saat dia pergi. Untuk pertama kalinya aku merasa kehilangan. Kalau boleh aku berlebihan, itu mungkin rasa kehilangan terbesar yang ku rasakan hingga saat ini. Bahkan aku sempat menyesal kenapa menyukai orang lain. Tapi itu kekanakkan ah!
Namun makin dewasa usiaku, perasaan itu berangsur mereda. Atau mungkin mengalami hibernasi. Apalagi, aku sempat pergi meninggalkan tempat kelahiranku untuk bersekolah di sekolah berasrama. Jadi namanya terpisah. Saling meninggalkan.
Apalagi ternyata dia bukan orang yang terakhir. Ternyata pikiranku masih teralih pada orang lain. Memang remaja seusiaku masih labil. Walaupun tentu saja kenangan itu yang tetap kusimpan. Bisa menjadi pelajaran. Karena ternyata aku termasuk orang yang ‘gajul’. Padahal aku sudah tahu tentang adab pergaulan lawan jenis.
Entah aku akan bertemu lagi dengan dia atau tidak. Hanya takdir yang menentukan. Bahkan kalau memang pada akhirnya kami disatukan itu juga takdir. Yang jelas, aku tidak ingin pacaran sebelum menikah. Aku ingin memperbaiki diri dulu, sekalian memohon agar di anugrahi jodoh yang baik. Intinya hanya bisa menunggu takdir, dan berdoa sebisaku.
Aku memandangi gedung TK yang belum dirombak hingga saat ini. Mainannya, cat nya, semuanya. Aku pun hanya menghembuskan nafas. Benar-benar tempat penuh kenangan. Tiba-tiba HP ku berbunyi dari Nina. Dia ada di gedung SMA, sedang menyelesaikan mading. Kebetulan dia masuk tim jurnalistik sekolah.
“Udah selesai belum?” Tanyanya.
“Bentar lagi nih” jawabku. “Bawa teman SD nggak pa-pa ya?”
“Sip” jawabnya. “Reina, Jihan, sama Nindya juga ikut” Nindya teman SMA aku dan Nina. Tapi nggak kenal sama Hana.
“Udah bilang sama Hana?” Tanyaku. Wah, bakal rame nih rumah orang.
“Dia bilang sih ayo-ayo aja. Senang malah” jawabnya.
“Ya udah, kalian ke sana aja. Tuh mereka mau kesini” aku pun memutuskan sambungan.
Saat aku menghampiri motor. HP yang kumain-mainkan dengan tangan terlepas dan terjatuh. Syukurnya dia HP yang kuat. Hanya bagian-bagian yang terlepas-lepas. Aku pun membungkuk untuk memungutnya. Sembari menggerutu dalam hati menyesali ke sompralan ku.
Setelah memasang bagian-bagian. Aku bangkit, saat itu aku melihat cowok yang tadi. Aku langsung memalingkan muka karena malu dengan wajahnya yang cakep (kalau jelek sama aja sih, tapi yang ini lebih berefek). Lalu berjalan menghampiri motorku. Tanpa sengaja aku memergoki tatapannya yang mengarah pada ku.
Dia kenapa?
*Mengulang Hafalan Qur’an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar