Jumat, 07 Juni 2013


“Allah ya nabi, salam alaika…” Shalawatan terdengar dari rumah Pak H. Asep. Setiap sebulan sekali, Pak H. Asep kerap mengadakan pengajian yasinan. Dan kebetulan, pada saat Pak H. Asep mengadakan acara itu, aku ikut serta.
Sebelum nya, aku shalat isya dulu. Karena Acara itu di mulai setelah shalat isya, akhirnya dengan hati ikhlas Aku menunaikan ibadah shalat Isya. Aku, Afia, dan Indah, berjamaah shalat isya. Selesai itu, kami keluar dari masjid menuju ke rumah Pak H. Asep. Tak jauh dari masjid, rumah Pak H. Asep terletak di depan Masjid.
Kami mengikuti baris berbaris, sambil Silaturahmi. Ketika bersalam-salaman, satu persatu mendapatkan konsumsi. Menurutku, aku tidak terlalu tergiur oleh konsumsi atau bingkisan semacam nya.
Sudah tiba di depan Ibu-Ibu pembagi konsumsi atau bisa di bilang panitia, aku salim pada nya. Tapi, biasa nya ibu-ibu itu memberi konsumsi. Tapi aku santai, dan tidak terlalu protes begini-begitu.
“Kenapa ya? Anak kecil nggak di kasih makanan?” Celoteh Indah yang berdiri di hadapan ku. Dia terlihat bersedih, sama seperti Afia, Ia juga bersedih. Seharus nya tidak boleh begitu, menurutku seharus nya cuek aja, kita ambil hikmah nya aja.
Beberapa lagam shalawatan terdengar merdu. Para jamaah pengajian sudah mulai memasuki rumah Pak H. Asep. Jumlah nya ratusan, tak terhitung. Jamaah nya, memakai baju bertema hijau. Ada pula yang memakai baju yang bertema lain. Aku duduk paling belakang, tapi aku masih bisa mendengar suara yang di buat oleh pak RW. Samping kiri ku ada ibu-ibu, entah siapa namanya. Yang jelas rumah nya di kompleks belakang rumah Pak H. Asep, tepat nya kontrakan-kontrakan.
Teman ku gelisah, mencari-cari akal untuk mendapat kan bingkisan. Tapi, aku tidak begitu. Aku ke pengajian ini Ikhlas dan tidak mengharapkan itu. Mereka berdua terus memancing, seperti ‘Kebelakang yuk!’. Karena Bu Haji sedang ada di ruang tamu, kebetulan kamar mandi nya juga dekat ruang tamu. Jadi, mereka ke air sambil mencari-cari alasan. Akhirnya mereka mendapatkan nya, mereka senang. Aku juga senang, tapi yang membuatku bersedih “Kenapa, setelah mereka berhasil. Mereka tidak berbagi sama sekali, mereka tidak setia kawan. Mereka serakah, mereka tersenyum bahagia, tapi jahat. Mereka.. ahk!” Pekik ku dalam hati, perasaan itu sungguh seperti tidak ada kata “Sahabat” di antara aku dan mereka.
Setelah beberapa lama mendengar pak RW membaca pembukaan, Para jamaah membaca surat yasin. Setelah selesai, pak ustad hampir memulai ceramah, dan Ibu disampingku itu bertanya-tanya pada ku. Panggil saja ibu itu Bu Eka, tapi entah siapa nama asli nya. Ibu Eka itu menanyakan rumah ku, nama ku, sekolah ku, kelas ku, dan semacam nya. Saat ceramah di mulai, aku mendengarkan penuh perhatian. Tapi sempat tidak mengerti juga, karena Ibu Eka sungguh mengganggu kefokusan ku pada Pak Ustadz yang sedang ceramah. Akhir kalimat dia menanyakan sesuatu, yang membuat ku berani untuk menyelidiki soal ‘biasa nya, saat aku tidak hadir ke pengajian itu, aku melihat semua sama rata di beri konsumsi. Aduuuh.. laper’. Ibu Eka menanyakan pada ku, hal yang ku maksud tadi
“De, bingkisan kamu mana?” Tanya ibu Eka. Sambil melihat sekeliling tangan ku yang kosong, hanya membawa tas yang berisi mukenah.
“Maaf bu, saya kesini bukan mencari bingkisan. Tapi mau mendengar Pak Ustadz ceramah “Aku tersenyum, dan kembali semangat karena ucapan ku tadi, entah apa perasaan ku. Tapi aku sungguh berani sekali menjawab pertanyaan ganjil itu. Ibu Eka itu terdiam, dan tidak pernah bertanya lagi sampai ceramah selesai. Saat ceramah selesai, seluruh jamaah berdoa bersama. Dan aku turut meluncurkan air mata, aku ikuti apa saran Pak Ustadz. Untuk puasa Rajab di esok hari, dan lebih giat lagi beribadah.
Kini aku sudah tahu, panitia-panitia itu menganggap anak kecil seumuran ku hanya menginginkan ‘Bingkisan’. Tapi, nyata nya tidak begitu. Aku sudah mengerti, ibu-ibu itu menganggap kami sebelah mata, memandang kami bukan dari sisi baik nya. Tapi, dari apa yang Ia lihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar