Kamis, 06 Juni 2013


Pluk!
Dia melempar bola basketnya ke arahku. Dengan sengaja, mungkin. Kemudian sambil tertawa kecil, ia menghampiriku.
“Sakit, ya? Maaf… maaf…” Ucapnya. Tawanya itu selalu menjadi penyemangat hidupku selama ini.
“Iya, nggak apa-apa, kok.” Balasku sambil tersenyum.
“Eh, ke kelas yuk!” ajaknya.
“Ayo.” Aku hanya mengiyakan ajakannya sembari tertawa renyah. Saat-saat ini yang pasti akan ku rindukan saat kami berpisah.
Di kelas…
“Ka, dari mana aja?” tanya Lutfi, salah seorang sahabatku.
“Dari danau,” jawabku.
“Danau di belakang sekolah?” tanya Asyiffa.
“Ya. Tempat itu selalu bisa menenangkan hatiku.” Jawabku sambil tersenyum simpul. Tanpa kusadari, dia sudah ada di dekatku. Dia, yang tadi melempar bola basket ke arahku.
“Terus, sekarang mau ke sana?” tanyanya.
“Nggak perlu deh, aku kan udah ke sana tadi,” jawabku.
“Kan kamu belum ajak-ajak aku. Ayo,” ucapnya sambil menarik tanganku. Ini perasaan yang aneh. Selama ini sebenarnya aku menyukainya. Tapi… apa mungkin dia juga menyukaiku?
“Sampai,” ucapnya sambil berpegangan tangan pada pembatas antara danau dan sekolah. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Seperti ini saja sudah cukup jika aku bisa dekat dengannya…
“Ka?” panggilnya sambil menoleh ke arahku. “Ayo, ke sini, pemandangannya indah banget…”
Aku mendekat ke arahnya, kemudian tanpa ku sangka ia memegang tanganku sambil berkata, “Seandainya keindahan ini bisa kita nikmati bersama 10 tahun lagi ya,”
Aku tak tahu apakah itu hanya sekedar candaan ataukah serius. Tapi jika serius, itu berarti…
“Iya,” jawabku sambil menunduk.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya perhatian, aku menggeleng lemah. Sebenarnya memang iya. Tapi aku tak mau memberitahukannya perihal penyakitku, aku tak mau ia mengkhawatirkanku…
“Ka? Ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu.” Ucapnya. Aku tertegun.
“Sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran.
“Tutup mata kamu… jangan ngintip!” serunya sambil tertawa kecil. Aku mulai menutup mataku. Jantungku berdegup kencang. Apa yang ingin dia beri kepadaku? Apa?
“Buka matamu, Ka.” Ucapnya. Aku merasa ada sebuah benda yang terpasang di leherku. Liontin. Ya benar.
“Ini… buat aku?” tanyaku sambil memegang liontin itu.
“Ya, buat sahabat aku yang paling baik sedunia…” jawabnya.
“Terimakasih sekali…” ucapku sambil tersenyum. Walaupun hanya sebatas sahabat baginya, biarlah… aku sudah cukup senang…
“Alika? Kita kembali ke kelas yuk!” ajaknya sambil menggandeng tanganku. Ini sudah yang kesekian kali, dan aku amat senang dengan itu.
Sepulang sekolah…
“Yah, pake acara hujan-hujanan segala! Gimana pulangnya nih?!” Gerutu Lutfi, Asyiffa, Dinda, Hayunda, Diva, Alya, Monica, Wilda, Putri, Dhiya, dan semua teman baikku. Aku hanya tersenyum simpul.
“Ka, kamu tuh, selalu ceria yah. Kayak nggak ada beban hidup aja,” celetuk Wilda, yang memang paling jahil di antara kami.
“Haha… masa iya sih?” tanyaku. Sebenarnya bukan begini… sebenarnya aku tersenyum untuk menutupi penyakitku, teman…
“Alika, pulang bareng yuk!” ajak dia. Teman-temanku kompak berdehem. “Ehmm…”
“Eh… tapi, mereka?” tanyaku sambil menunjuk teman-temanku.
“Sudahlah, kamu pulang dengan Ryan saja. Biar kita sama-sama hujan-hujanan disini. Iya nggak Guys?” tanya Putri, orang terjahil kedua setelah Wilda.
“Iya!” seru teman-temanku.
“Tuh, kan, teman-teman kamu aja udah setuju kok! Yuk!” Ia menarik tanganku menjauhi mereka. Ini keempat kalinya…
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini jadi aneh? Kayak bukan Alika yang dulu?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
“Aku? Nggak ada yang aneh kok,” ucapku menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Mobil mulai berjalan. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang.
“Alika, seandainya udah waktunya, aku mau kasih tahu kamu sesuatu.” Ucapnya sambil terus menyetir.
“Apa itu?” tanyaku.
“Ini belum saatnya. Masih lama, dan kamu harus menunggu.” Jawabnya.
“Baiklah, aku akan tetap setia menunggu sesuatu itu hingga tiba waktunya,” jawabku sambil tersenyum.
“Sebentar lagi sampai rumahmu,” ucapnya. Akhirnya, rumahku terlihat. Ia memberhentikan mobilnya tepat di depan rumahku.
“Makasih ya,” ucapku.
“Ya,” balasnya. Aku pun masuk rumah.
Di dalam rumah…
“Alika? Kamu pulang sama siapa?” tanya kedua orangtuaku panik.
“Sama temen Ma… Pa… temen Alika baik kok, dia mau nganterin Alika pulang waktu tadi Alika nungguin hujan sama temen-temen…” ucapku sambil tersenyum.
“Alika, hari ini kan kita mau ke rumah sakit. Cuci darah kan?” tanya Mama.
“Oh, iya…” jawabku, kembali lemas setelah mendengar kata “cuci darah” kata yang berhubungan dengan penyakit.
“Sekarang kamu ganti baju ya Sayang, yang cepat. Kita sudah mau berangkat.” Ucap Papa.
“Nggak usah Pa, Alika pakai ini aja. Besok nggak di pakai lagi kok,” jawabku.
“Baiklah Sayang, sekarang kita langsung berangkat saja ya.” Ucap Papa, kemudian menyalakan mesin mobil. Aku hanya tertunduk. Penyakit ini semakin menghantuiku… apakah aku harus memberitahu hal ini kepada Ryan?
Sesampainya di Rumah Sakit…
“Papa dan Mama tinggal dulu ya Sayang. Nanti kami segera kembali,” ucap Mama. Aku mengangguk lemah. Entah apa yang akan terjadi dalam sisa hidupku ini…
Selesai cuci darah…
Aku menunggu kedatangan orangtua ku yang entah ke mana perginya. 5 menit kemudian, mereka datang. Kemudian kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah…
“Ma, Pa, Alika mau belajar dulu ya…” ucapku, kemudian naik ke atas, ke kamarku. Aku mengunci pintu rapat-rapat. Kemudian, aku mengambil buku diary-ku dan pulpen merahku.
Kamis, 28 Maret 2013
Hari ini, aku senang… sekali. Di sekolah, ada yang perhatian sama aku. Aku jadi lebih semangat menjalani hidupku yang (mungkin) tinggal sebentar lagi.
Sebenarnya aku ingin sama seperti teman-teman. Bisa bercanda, tertawa, bermain, tanpa beban. Tapi yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum, untuk melewati cobaan hidupku. Sebenarnya aku iri dengan mereka. Tapi inilah aku…
Seandainya memang Tuhan ingin mencabut nyawaku, aku rela, asal jangan ambil dia… Karena aku sangat mencintainya…
“Alika?” Mama mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku terkejut, kemudian segera mengembalikan buku diary ke meja belajar dan mengambil buku Fisika.
“I… iya Ma?” jawabku gugup.
“Sedang belajar ya Sayang?” tanya Mama.
“I… iya Ma, belajar Fisika… hehehe…” jawabku masih gugup.
“Mama bawakan cokelat hangat buat kamu Sayang… buka pintunya,” ucap Mama.
Aku membukakan kunci pintu dan pintu kamarku. Mama meletakkan segelas cokelat hangat itu di meja belajarku.
“Ka?” panggil Mama.
“Iya Ma?” tanyaku.
“Kamu nggak sedih kan, harus cuci darah setiap minggu?” tanya Mama sambil duduk di tepi tempat tidurku.
“Nggak Ma… Alika santai aja kok,” jawabku mencoba tersenyum.
“Mama tahu, kamu ingin hidup seperti anak-anak lain. Bebas seperti mereka. Tapi kamu tahu kan, kamu punya penyakit. Mama tidak bisa membebaskanmu seperti mereka,” lanjut Mama.
“Iya Ma, nggak apa-apa kok. Alika ngerti, Alika berbeda dari mereka.” Jawabku.
“Sudah ya Sayang, lanjutkan belajarmu… jangan sedih,” ucap Mama sambil mencium keningku. Aku tersenyum.
“Terimakasih Ma…” jawabku, kemudian menutup pintu kamarku setelah Mama keluar.
“Ma… sebenarnya aku sedih… tapi mau bagaimana lagi? Aku memang berbeda…” ucapku, perlahan air mata menetes dari mataku.
Tapi sebuah SMS menyadarkanku dari kesedihanku. Aku segera meraih handphone-ku dan membaca SMS itu.
To : Alika
Main yuk Ka ! Nggak seru nih kalau nggak ada kamu ! :D
“Ryan…” ucapku sambil meneteskan air mata. Aku tersenyum simpul. Sebenarnya aku ingin sekali… ingin sekali bisa bermain dengannya… tapi… tapi…
To : Alika
Balas dong !
“Apa aku harus izin kepada Mama ya? Tapi apa mungkin Mama akan mengizinkan aku bermain?” tanyaku. Aku membalas SMS Ryan.
To : Ryan
Sebentar ya… Aku izin Mama dulu…
Aku keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Aku mencari Mama. Ternyata Mama sedang menonton televisi dengan Papa. Aku langsung mengutarakan niatku.
“Ma,” panggilku takut.
“Ada apa Sayang?” tanya Mama sambil membelai rambutku.
“A… Alika… diajak main Ma… sama… temen Alika…” ucapku gugup.
“Terus?” tanya Mama.
“Alika… boleh ya… main sama temen Alika…? Please Ma…” lanjutku. Akhirnya, aku bisa mengutarakannya juga.
Mama tersenyum simpul. “Boleh Sayang, tapi jangan lama-lama ya… oh ya, siapa teman kamu yang mengajak? Bisa kamu perkenalkan kepada Mama?”
Alhamdulillah, akhirnya aku diizinkan. Benar-benar mustahil menurutku. Tapi ini nyata!
“Ma, makasih Ma… makasih…” aku memeluk Mama. Mama hanya tersenyum.
Aku langsung membalas SMS Ryan.
To : Ryan
Kamu jemput aku yah, aku udah diizinin.
Aku kembali ke kamarku, tapi sebelum itu ada SMS.
To : Alika
Ok, otw ya… Jangan kemana-mana! ;)
Aku tersenyum senang. Rasanya seperti mimpi! Ini mimpi atau bukan ya?
Ting! Tong!
Bel pintu rumahku berbunyi. Aku segera berlari ke bawah untuk membukakan pintu.
“Hai… Alika?” sapa Ryan di depan pintu, sambil melambaikan tangan.
“Cepat sekali,” gumamku. “Oh, ya, silakan duduk. Aku mau berganti pakaian dulu.”
“Siapa Sayang?” tanya Mama yang tiba-tiba datang.
“Temen aku Ma… yang tadi ngajak aku main,” ucapku.
“Oh… ini… siapa namanya?” tanya Mama.
“Ryan, Tante,” jawab Ryan.
“Kamu baik-baik ya, dengan Alika… jadilah sahabat yang baik, supaya Alika bisa semangat dalam menjalani hidupnya,” Mama langsung pergi meninggalkan Ryan setelah mengatakan itu.
Aku segera keluar kamar setelah berganti pakaian. Ryan langsung melontarkan pertanyaan kepadaku.
“Maksud perkataan Mama kamu apa Ka?” tanya Ryan.
“Emang Mama ngomong apa ke kamu?” tanyaku balik.
“Beliau bilang, aku suruh baik-baik sama kamu, supaya kamu semangat dalam menjalani hidup kamu. Memang kamu ada masalah apa Ka?” jawab dan tanya Ryan.
“Eh… nggak ada apa-apa kok Yan, beneran.” Ucapku menutupi kebenaran sesungguhnya.
“Bener nih? Jangan bohong sama aku,” ucap Ryan.
“Iya, suer dah… yuk, ah, ngapain basa-basi!” ajakku. Ryan keluar lebih dahulu dan mulai menyalakan mesin mobilnya.
Di perjalanan…
“Alika, cerita aja kenapa sih, sama aku? Kamu ada masalah apa sampai-sampai Mama kamu ngomong begitu ke aku?” tanya Ryan sambil menyetir mobilnya.
“Nggak ada, Ryan…” jawabku.
“Aku nggak percaya. Kita itu kan sahabat. Harus saling berbagi rahasia. Masa, sih, kamu tega bikin aku penasaran?” tanya Ryan.
“Hm… iya, deh… sebenarnya, aku itu…”
Apa ini saatnya untuk memberitahukan kepada Ryan perihal penyakitku? Tapi, jangan. Belum waktunya.
“Belum waktunya kamu untuk tau Yan,” ucapku membatalkan ucapanku yang sebelumnya.
“Kamu gitu deh…” kata Ryan.
“Kamu juga, kamu bilang ada suatu hal yang harus aku tahu pada waktunya. Nah, hal ini juga yang harus kamu tau PADA WAKTUNYA,” jelasku.
“Baiklah, aku mengerti. Kita akan sama-sama mengungkapkannya PADA WAKTUNYA.” Ucap Ryan dengan ekspresi wajah kecewa. Aku hanya termenung. Maaf… aku belum bisa memberitahumu perihal ini…
“Sebenarnya kita mau ke mana sih Yan?” tanyaku yang mulai penasaran.
“Ke mana? Tentu saja ke belakang sekolah!” seru Ryan mulai bersemangat.
“Belakang sekolah?” tanyaku lagi, Ryan mengangguk.
Danau belakang sekolah…
“Udaranya sejuk sekali!” seru Ryan sambil mengangkat tangannya ke atas.
“Aku tak mengerti mengapa kamu mengajakku ke sini.” Ucapku.
“Ya, agar lebih terbiasa.” Jawab Ryan.
“Aku sudah biasa berada di sini, namun aku tak pernah bosan… karena hanya tempat inilah… yang mengerti akan aku dan kehidupan kelamku…” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Bodoh!
Ryan tertegun, kemudian memandangku. “Bilang apa kamu Ka?”
Aku merutuk diriku sendiri. Kenapa harus keceplosan? Ah… dasar Alika!
“Ka? Kamu sebenarnya punya masalah kan? Cerita aja, aku nggak akan membocorkan masalahmu kepada siapapun, janji…” pinta Ryan.
Mungkin ini waktunya! Ini waktunya! Aku harus mengatakan yang sebenarnya!
“Yan… setelah dengar ini kamu nggak boleh sedih ataupun nangis ya…” ucapku sebelum pernyataan itu keluar dari mulutku.
“Kenapa harus sedih atau nangis Ka?” tanya Ryan. Aku menunduk.
“Karena… sebenarnya… hidupku tak lama lagi Yan…” akhirnya, terlontar juga. Aku melihat wajah Ryan tampak redup, tidak ada lagi rona wajah ceria seperti pertama ia berkunjung ke danau ini.
“Kenapa bisa begitu? Ada apa denganmu?” Ryan memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya, ia mengguncang-guncangkan bahuku. Aku diam sejenak, kemudian berkata…
“Aku leukimia…”
“Jangan bohong sama aku Ka! Kamu nggak kenapa-napa kan?!” Ryan meminta penjelasan.
“AKU NGGAK BOHONG SAMA KAMU RYAN!” seruku sambil melepaskan pegangan tangannya di bahuku. Tiba-tiba air mataku menetes. “Kamu minta aku jujur, sekarang aku jujur… kamu anggap aku bohong…”
Ryan seperti tak percaya. Ia kembali mempertanyakan hal yang sama.
“Bener kamu leukimia Ka?” tanya Ryan sekali lagi.
“Kamu masih belum percaya? Tanya kedua orang tuaku, pasti mereka juga mengatakan seperti itu…” ucapku pelan.
“Ka,” tiba-tiba ia memelukku dengan erat. “Jangan tinggalin aku di sini Ka! Kalau kamu pergi pasti aku bakal kesepian!”
Aku tak tahu apa maksud perkataannya itu. Mustahil, mungkin ini hanya mimpi…
“Udah kan… aku udah bilang yang sebenarnya… sekarang giliran kamu…” ucapku melepas pelukannya.
“Barusan aku ngomong Ka..” ucap Ryan. “Aku gak mau kehilangan kamu, aku cinta sama kamu…”
Mimpi! Benar-benar mimpi! Tuhan, jika ini memang mimpi, biarkan aku tertidur untuk selamanya. Aku tak ingin menyudahi peristiwa ini, walau akhirnya aku akan mati…
“Ryan, kamu bercanda kan?” tanyaku.
“Alika, aku benar-benar cinta sama kamu… Dari pertama bertemu, aku udah tertarik sama senyuman kamu… sejak itu aku terus mencoba akrab denganmu, sampai sekarang. Tapi yang ku dapat malah kenyataan yang menyakitkan.” Jawab Ryan.
“Maaf Yan, aku pulang dulu.” Aku menyudahi peristiwa itu. Padahal, baru saja aku berpikir itu adalah mimpi yang mustahil.
“Kamu pulang sama siapa Ka?!” tanya Ryan khawatir.
“Sendiri, aku bisa naik bus kok. Bye, terimakasih pengakuannya.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian menyetop bus yang sedang berjalan. Aku masuk ke dalamnya.
Sesampainya di rumah…
“Bagaimana mainnya Sayang?” tanya Mama ramah, beliau menyambutku di depan pintu sambil membawakan segelas es jeruk.
“Ini mimpi kan Ma?” tanyaku masih tak percaya atas peristiwa yang tadi baru saja kualami.
“Memangnya ada apa Sayang?” tanya Mama.
“Ah… nggak apa-apa. Terimakasih es jeruknya Ma, Alika capek, mau tidur,”
Aku beranjak naik ke atas, ke kamarku. Aku mengunci pintu dan langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur sembari membayangkan peristiwa tadi…
Itu bukan mimpi, Ryan benar-benar menyatakan perasaannya kepadaku. Tapi menurutku itu mustahil. Apa yang menarik dari aku? Apa?
Karena terlalu lelah, tanpa sadar aku tertidur…
Keesokan paginya…
“Alika, bangun… hari ini kamu harus sekolah!” seru Mama.
“I… iya Ma,” aku bangun kemudian langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku mengenakan seragamku kemudian menyisir rambutku. Tapi…
“Aaaahh…!” jeritku begitu mendapati rambutku rontok saat di sisir.
Tuhan… apa penyakitku semakin parah? Jika iya, maka izinkan aku untuk bertemu dia untuk terakhir kalinya… hari ini saja…
Maka dengan pelan aku menyisir rambutku, walau rambutku banyak yang rontok karena penyakitku.
“Mama, Papa, Alika sekolah dulu! Assalamualaikum,” pamitku.
Aku berangkat sekolah dengan di antar oleh supir pribadiku. Sesampainya di sekolah…
“Alika!” sapa teman-temanku hangat. Aku tersenyum simpul.
“Hei,” sapaku balik. Senyuman dan sapaan ini mungkin akan jadi yang terakhir, teman… Maafkan aku…
“Alika, dari tadi Ryan nungguin kamu berangkat lho! Ada apa sih?” tanya Dinda. Aku melihat Ryan yang sedang berdiri di dekat jendela sambil termenung.
“Samperin tuh, samperin!” seru Wilda sambil mendorongku ke arah Ryan. Aku terkejut, tapi aku bisa mengendalikan tubuhku.
“Yan…” panggilku pelan.
Dia hanya menoleh tanpa menjawab. Wajahnya murung sekali. Aku merasa bersalah. Aku harus menjawab perasaannya hari ini walau sebentar lagi aku akan mati…
“Yan, soal yang kemarin… aku… aku…” aku tak mampu untuk berkata-kata.
“Kenapa? Kamu nggak suka sama aku?” balasnya sinis. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Bukan itu…” ucapku sambil memegang lengan bajunya. “Aku suka… suka sekali sama kamu Ryan…”
Seluruh kelas mendengar jawabanku itu. Ryan terkejut, seperti tak percaya.
“Cieee… Alika…” seperti biasa, teman-temanku yang jahil itu langsung kompak mengejekku.
“Bener?” tanya Ryan memastikan. Aku mengangguk lemah. Tuhan… kepalaku pusing sekali…
“Terima kasih Alika…” Ryan memelukku, kemudian aku balas memeluknya. Sungguh, ini hari terindah. Tapi, mungkinkah ini hari terakhirku hidup? Kepalaku pusing sekali… pandanganku kabur…
“Alika?” tanya Ryan. Aku tak menjawab. Aku tertidur dalam pelukan Ryan.
“Ka?” panggil Ryan sekali lagi. Aku tetap diam. Ryan panik. Ia melepaskan pelukannya dan melihat aku tertidur.
“Alika!” seru Ryan. “Alika bangun…! Please, jangan tinggalin aku!”
“Ada apa dengan Alika?” tanya teman-temanku. Mereka menghampiriku.
“Tolong, telepon orang tua Alika! Alika harus segera dibawa ke rumah sakit!” seru Ryan. Lutfi menelepon kedua orangtuaku segera.
“Halo?” ucap Lutfi.
“Halo, ya dengan siapa?” tanya Mama.
“Ini Lutfi, teman Alika. Tante, Alika pingsan di sekolah. Saya harap Tante bisa segera membawanya ke rumah sakit,” ucap Lutfi.
“Apa? Alika pingsan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Terimakasih Lutfi,” Mama segera mematikan telepon, kemudian bersama Papa langsung ke sekolahku.
“Alika!” seru Mama sambil mendekatiku. Jelas saja aku sedang tak sadar. Mama dan Papa segera membawaku ke rumah sakit, bersama Ryan tentunya…
Di rumah sakit…
“Hiks…” tangis Mama. Ryan berusaha menghibur Mama.
“Tante, semoga ini bukan kali terakhir Alika tersenyum… Maafkan saya Tante, saya lalai menjaga Alika…” ucap Ryan.
“Tante juga… bukan Ibu yang baik untuk Alika… Tante menyesal selama ini mengabaikannya… padahal, ia sangat butuh orang-orang terdekatnya…” ucap Mama sambil terus menangis.
“Sudahlah Ma, Yan, kita doakan saja yang terbaik untuk Alika… semoga dia bisa kembali ke pelukan kita lagi,” ucap Papa menghibur Mama dan Ryan.
2 jam kemudian…
“Apa di sini ada anggota keluarga yang hendak mendonorkan ginjalnya untuk Alika?” tanya dokter yang bertugas.
“Untuk apa Dok?” tanya Mama.
“Alika masih diberi kesempatan hidup, jika ada yang mau mendonorkan ginjalnya untuknya…” jawab dokter.
“Bagaimana? Golongan darah saya A… Suami saya B, sedangkan Alika O…” ucap Mama sambil terisak. Ryan hanya diam.
“Biar aku saja Tante, Om.” Ucap Ryan. “Golongan darahku sama seperti Alika. Biar kali ini aku yang menyelamatkannya, walau harus nyawa taruhannya.”
“Kamu yakin Ryan?” tanya Papa. Ryan mengangguk mantap.
“Demi kesembuhan dan kehidupan Alika, Ryan rela, walau harus mati sekalipun.” Ucap Ryan.
“Baiklah, mari ikut saya ke ruang operasi…” ucap dokter sambil mengajak Ryan.
Beberapa jam kemudian…
“Bagaimana dok?” tanya Mama dengan panik.
“Anak Ibu bisa diselamatkan. Tapi dia…” dokter itu menghentikan ucapannya sebentar. “Dia tak tertolong,”
“Maksud dokter, Ryan?” tanya Papa. Dokter itu mengangguk dengan berat hati.
“Saya permisi.” Ucap dokter, meninggalkan Papa dan Mama. Mereka langsung masuk ke ruang rawat Alika, terlihat di sana aku telah terbaring dengan senyum manisku.
“Papa, Mama…” panggilku bahagia. “Alhamdulillah, ada orang baik yang mau menyelamatkan Alika… Alika bahagia sekali,”
Mama hanya mengangguk sambil menangis. Papa menghibur Mama sambil merangkulnya.
“Oh ya, Alika ingin tahu… Ryan di mana?” tanyaku yang tidak mengerti apa-apa.
Deg! Jantung Mama berdegup kencang.
“Bagaimana ini Pa?” bisik Mama.
“Kita beritahu lain kali saja Ma, jika dia sudah benar-benar sehat,” jawab dan bisik Papa.
“Ryan… Ryan… dia tidak ikut ke sini Sayang,” jawab Mama gugup. Aku mulai curiga.
“Oh… Alika bisa pulang kapan Ma?” tanyaku dengan bahagia.
“Besok, mungkin.” Ucap Papa dengan berat hati.
“Alika ingin cepat-cepat pulang, Alika rindu sekali sama Ryan…” ucapku. Kembali Mama dan Papa terkejut.
“Iya, Alika tidur dulu ya Sayang… besok Mama antar kamu ke tempat Ryan, ya…” ucap Mama sambil membelai rambutku. Aku tersenyum senang, kemudian mulai tertidur.
Keesokan harinya…
Aku bisa pulang dengan sehat. Entah siapa yang mendonorkan ginjalnya untukku, tapi aku sangat berterimakasih kepadanya.
“Ayo Ma, Pa!” seruku ceria. Mama dan Papa tersenyum terpaksa. Aku langsung masuk ke mobil bagian belakang. Mama dan Papa di depan.
Selama perjalanan, aku tersenyum bahagia. Aku membayangkan wajah Ryan saat aku sembuh. Pasti ia bahagia!
Namun, khayalanku terhenti saat Papa memutar mobilnya ke arah yang berbeda. Sebuah pemakaman…
Papa menghentikan mobilnya di depan pintu pemakaman. Sementara Mama mengambil bunga. Aku bingung.
“Untuk apa kita ke sini Ma, Pa?” tanyaku sambil ikut turun.
“Menemui Ryan, Sayang…” jawab Mama sambil menahan isak tangisnya. Firasatku tak enak. Kenapa di pemakaman? Ryan kan, Ryan kan, masih hidup?
Mama berhenti pada sebuah makam. Di situ tertuliskan : J. Ryan D. Lahir : 08 Februari 2000 Wafat: 29 Maret 2013.
“Ini Ryan Ma?!” tanyaku tak percaya. Mama mengangguk lemah.
“Sayang, maafkan Mama… sebenarnya yang mendonorkan ginjalnya untukmu, Ryan, Sayang… tapi dia tak mau kamu tahu, sehingga kami merahasiakannya,” ucap Mama.
“Nggak mungkin, ini bohong… ini bohong kan!” teriakku. Aku menangis.
“Ryaaan!!!” panggilku. Tentu saja yang kupanggil tak menjawab. Sekarang ia hanya tinggal nama…
“Sayang..” panggil Mama.
“Mama dan Papa jahat! Lebih baik aku yang mati dibandingkan dia!!!” seruku sambil menangis. Air mataku bertambah deras. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, seakan mengerti perasaanku.
“Sayang, ucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya… kita harus pulang, nanti kamu sakit,” ucap Papa.
“Nggak mau! Alika mau bersama dengan Ryan! Alika mau mati…!” seruku sambil memeluk batu nisan di hadapanku. Benar-benar… ini nyata!
“Sayang…” Mama menarik tanganku. Aku tetap bersikeras untuk duduk dan memeluknya untuk terakhir kali. Tapi tangan Mama terlalu kuat sehingga aku pun akhirnya dibawa masuk ke mobil.
Di perjalanan…
“Alika, ini surat terakhir dari Ryan untuk kamu…” ucap Papa sambil menyerahkan secarik kertas. Aku menerimanya dengan acuh.
Sesampainya di rumah…
Aku segera masuk ke kamar dan mendobrak pintu dengan kesal. Aku langsung merebahkan tubuhku sambil menangis. Aku teringat surat itu, aku langsung mengambil kemudian membacanya.
To : Alika
From : Ryan
Hai Alika… kamu sedang apa sekarang? Pasti lagi main ya, sama teman-teman kamu… Hehehe…
Alika, ini surat terakhir dari aku buat kamu… Aku nulis surat ini sebelum aku operasi. Alhamdulillah dokter masih kasih aku kesempatan buat ngucapin ini ke kamu yah…
Aku udah yakin kalau aku nggak akan bertahan lama hidupnya setelah aku mendonorkan ginjal aku buat kamu. Tapi aku nggak nyesel. Aku justru pengin kamu hidup, walaupun harus aku yang mati.
Sebenarnya jika aku masih hidup, aku ingin kita bermain bersama Alika… tapi kayaknya cuman angan-anganku yah, hehehe…
Sudah dulu ya Alika, kalau kamu sudah sehat, jangan lupa kirim-kirim kabar ya, ke surga! Hehehe… I love you…
Aku menangis membaca surat tersebut. Itu benar-benar surat dan kata-kata terakhir Ryan untukku. Air mataku membasahi kertas surat ini…
Aku meletakkan surat itu di depan foto Ryan. Tidak lupa juga aku sertakan beberapa bunga melati di depannya.
“Aku pasti bakal kangen kamu untuk beberapa waktu… Terimakasih atas ginjalnya, aku jaga baik-baik… Aku akan menjadi seseorang seperti yang kamu inginkan, terimakasih atas segala senyuman dan perhatianmu selama ini, I love you too…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar