Kamis, 06 Juni 2013


Aku menyesap hangatnya susu coklat di gelas putihku sambil menatap lekat-lekat setiap gerakan dan tindakan laki-laki di depanku. kutegaskan lagi, setiap gerakan dan tindakan. tidak terkecuali wajahnya yang terlihat sangat serius dan terlihat sangat hati-hati mengambil keputusan. 5 menit, 10 menit, 20 menit… astaga. aku gak tahan lagi.
“Arian, kamu ini main kartu apa abis di tembak sih? ngambil keputusan aja lama banget kayaknya,” kataku sambil memalingkan wajah ke luar jendela kafe.
“Main kartu itu tidak semudah bermain bulutangkis, Nad. kalau kamu gak mau aku lama-lama, nih, aku kasih kartu-kartu full house kesayanganku,” ucapnya seraya mengeluarkan 3 kartu J dan 2 kartu As. wow.
Kami berdua lalu terdiam. beberapa detik kemudian, kata ‘bodoh’ meluncur keluar ditemani dengan suara tawa kami berdua. sial, sudah lama tidak main kartu denganku, kupikir kemampuannya segitu-gitu saja. ternyata dia sekarang sudah jauh lebih hebat. yaah, walaupun belum sehebat aku sih.
“Sudah lama sekali rasanya kita tidak tertawa bersama seperti ini,” kata Arian sambil menatap wajahku.
Ya, sudah lama sekali rasanya aku dan dia tidak tertawa bersama seperti ini. aku dan Arian berteman sejak masih duduk di bangku SMP. dulu kami sering menghabiskan waktu bersama dengan menonton film-film di dvd nya, main bulutangkis, dan main kartu; seperti yang sekarang sedang kami lakukan di kafe favorit Arian. Aku dan Arian sudah lama sekali berteman, tapi sekarang jarang sekali bertukar kabar. terakhir kali kami bertemu dan tertawa bersama seperti ini adalah setahun yang lalu, saat ia pergi ke Amerika untuk mengejar impiannya, menjadi seorang pebulutangkis profesional. selama setahun itu, aku menghabiskan waktuku untuk menonton setiap pertandingannya di layar kaca atau dunia maya. aku selalu mengusahakan diriku untuk menontonnya bahkan saat aku tidak bisa. setahun tanpa sosoknya ku isi dengan kerinduanku yang setiap harinya terus bertambah. dan selama setahun itulah, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta. dan perasaan itu terus tumbuh dan mengakar kuat sampai rasanya tak bisa ku tahan lagi.
Sampai pada akhirnya, pukul 2 siang tadi, aku tercenung saat melihat kalimat pesan yang tiba-tiba muncul di layar handphoneku.
“Nad, aku pulang.”
Saat membaca pesan itu, yang ada di pikiranku hanyalah keinginanku untuk bertemu dengannya. dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun caranya, akan aku lakukan selama aku bisa bertemu dengannya. ku tekan tombol ‘call’ di handphoneku dan aku segera berlari keluar dari kantorku dan pergi menuju bandara demi bertemu Arian. 2 kali, 3 kali, 4 kali, sampai 10 kali teleponku tidak terjawab. dan pada panggilan ke 11 lah kebahagiaanku berada. aku akhirnya bertemu dengan dia tak lama setelah teleponku di angkat. rasa kangen yang luar biasa ini akhirnya terbayar hanya dengan melihat senyumnya secara live, bukan dari wawancara kemenangan yang biasa disiarkan di televisi atau internet.
Dan selanjutnya, seperti yang kalian ketahui, kami sudah duduk di kafe ini sambil memainkan kartu remi milik Arian yang entah kenapa di ikat dengan karet gelang warna merah.
Walaupun sudah duduk dan bermain bersama dengannya selama 2 jam, aku belum ada sedikitpun berniat untuk menyatakan perasaanku yang tertahan selama setahun ini. aku gengsi dan takut kami jadi jauh. jadi, yah… lebih baik aku simpan dulu perasaan ini sampai setidaknya satu tahun lagi.
Lalu tiba-tiba Arian memecah lamunanku dengan sebuah pertanyaan. “Nad, aku boleh ngomong sesuatu?” katanya. ia lalu mengaduk-aduk isi tas olahraga di bawah kursinya yang penuh dengan raket, seperti sedang mencari sesuatu.
“Kamu mau ngomong apa, Yan?” tanyaku penasaran. jarang sekali loh Arian bilang kalau dia ingin bicara sesuatu. selama kenal dia, aku selalu percaya bahwa Arian adalah tipe orang yang ‘kalo mau nanya sesuatu ya nanya aja’. tipe jarang malu-malu dan seringnya blak-blakan. tapi aku tidak mau sok tahu dulu. bisa saja Amerika mengubah kebiasaan dan jati dirinya.
Arian akhirnya menegakkan posisi duduknya. ia lalu meletakkan sebuah kotak berwarna silver dengan pita dan ornamen-ornamen menarik di atas meja.
“Nad, di hari-hari-hari pertama aku menetap di Amerika, aku merasa sangat bahagia. aku senang bisa menjalani hidup di negara lain, di tempat orang lain, di lingkungan yang jauh dari lingkungan biasaku. itu awalnya yang kurasakan. lalu selama 3 bulan kemudian, rasa bahagiaku lambat laun berubah menjadi rasa bosan dan kesepian. aku di tekan para pelatihku. aku di tekan agar selalu menjadi yang terbaik. and i did. aku menang banyak kejuaran selama aku di Amerika. aku bangga, tapi aku tidak bahagia. aku tetap merasa kurang. dan aku merasa rindu. rindu rumahku, rindu orang tuaku, rindu teman-temanku, rindu Jakarta. tapi satu yang paling kurindukan dari semuanya, aku rindu kamu, Nad. dan aku gak tau kenapa.”
“Aku mencoba menghubungimu. tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. dan semua telepon itu selalu berakhir tidak terjawab. I was nearly going to give up on you, Nad. not only you, but also my whole life.”
Aku tergelak. astaga. Amerika benar-benar merubah hidup Arian. ia terus melanjutkan ceritanya dan aku tetap mendengarkan. walau ingin bertanya, aku sama sekali tidak berniat memotong ceritanya. itu semua semata-mata karena aku ingin tahu kelanjutan dari segala kata rindunya untukku.
“Lalu pada bulan ke 10 aku tinggal di Amerika, pelatihku tiba-tiba bilang bahwa aku akan kembali ke Indonesia 2 bulan lagi karena jadwal pertandingan untukku sudah habis dan akan digantikan pebulutangkis yang lain. aku tidak sedih. aku tidak kecewa karena aku digantikan. aku justru senang. setidaknya di Indonesia lah aku bisa bertemu lagi dengan kebahagiaanku.”
Arian lalu berhenti bicara. ia tersenyum dan mendorong kotak berwarna silver itu ke arahku. “Buka, Nad.” aku menerimanya dan langsung membuka kotak tersebut.
Dan hanya dalam hitungan detik. aku menangis. bukan menangis karena duka, tapi karena terharu bahagia. aku tersenyum dan melihat ke arah Arian yang juga tersenyum. “Aku suka kamu, Nad. Will you be mine?”
Aku mengangguk, tentu saja. ia pun lalu memelukku yang saat itu masih menangis terharu. aku tenggelam. aku tenggelam dalam kebahagiaan dan pelukan Arian yang menghangatkan. siapa yang sangka rasa rindu dan cintaku yang terpendam selama ini bisa terbalas dengan begitu indah dan manis seperti ini?
Aku masih memegang kotak silver yang tadi di beri Arian. kotak itu berisi kalung dengan permata berwarna putih dan sebuah kertas yang bertuliskan:
“You are my happiness. and my love for you is eternal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar